DUA kecelakaan lalu lintas yang menarik perhatian terjadi di Sumatera Barat, Rabu lalu. Pertama truk menyeruduk rumah penduduk di daerah Padang Basi, Kecamatan Lubuk Kilangan, Kota Padang. Kedua kecelakaan beruntun yang juga melibatkan truk di Silaiang Bawah, Kota Padang Panjang.
Dikatakan sebagai kecelakaan yang menarik perhatian lantaran sama-sama melibatkan truk bermuatan berat. Lebih dari itu, kecelakaan tersebut merenggut nyawa dua bocah yang tengah tidur lelap di rumahnya.
Menarik kesimpulan sementara dari dua kecelakaan lalu lintas itu adalah disebabkan oleh rem blong pada truk bermuatan berat. Soal penyebab sesungguhnya tentu bisa diketahui setelah dilakukan penyelidikan oleh pihak-pihak terkait.
Bicara soal rem blong sebenarnya sudah sering terjadi di daerah ini. Ada sejumlah titik yang seakan menjadi ‘langganan’ bagi truk rem blong, yakni kawasan Sitinjau Lauik di Kota Padang, kawasan X Koto Tanah Datar yang menjadi wilayah hukum Polres Padang Panjang, tanjakan Cupak-Talang-Guguk di Kabupaten Solok dan lainnya. Dikatakan sebagai ‘langganan’, karena memang di kawasan itu sering terjadi kecelakaan truk yang penyebab utamanya dikatakan sebagai rem blong.
Rem blong tentulah rem yang tidak berfungsi secara baik. Setidaknya ketika diinjak oleh sopir, tak ada reaksi atau tidak ada cengkeramannya.
Pertanyaannya, apa benar seringnya kecelakaan truk, akibat rem blong? Apa tidak ada faktor lain? Semisal kelebihan beban atau muatan, human error (kelalaian manusia) atau mungkin juga faktor jalan. Sepertinya, ini tidak ada yang tegas. Petugas hanya mau mengatakan dugaan, dugaan dan dugaan.
Kecelakaan truk di sepanjang jalur Sitinjau Lauik hingga kawasan Indarung misalnya, nyaris setiap hari terjadi. Semua orang tahu bahwa mulai dari Padang Basi hingga Air Sirah di perbatasan Padang-Solok adalah tanjakan ekstrem. Semua orang juga tahu, bahwa muatan truk yang lewat di jalan itu tidak ada yang ringan.
Dengan medan seperti itu, jelas diperlukan perhitungan yang sangat matang, baik ketika menanjak, apalagi menurun. Yang perlu diperhitungkan antara lain kelaikan kendaraan (truk), volume muatan, kelaikan pengemudi dan lainnya. Ketika batas tonase sebuah truk misalnya 25 atau 30 ton, lantas diisi hingga 35 ton, jelas akan memaksa rem saat turun. Rem yang kelewat panas, daya cengkeramnya menjadi berkurang hingga hilang sama sekali.
Apabila kasus seperti ini sebagai penyebab kecelakaan truk di titik-titik tersebut, apakah kita masih tetap menyalahkan rem blong. Apakah ini bukan karena kelalaian? Atau ketika sopir sedang kecapean, namun masih memaksakan diri mengemudi, apakah masih juga akibat rem blong? Bukankah ini juga kelalaian?
Oleh karena itu, pemerintah melalui pihak berwenang perlu bertegas-tegas kepada pengusaha truk dan sopir. Apabila muatan mereka melebihi tonase dalam buku kir, sebaiknya tidak diizinkan melewati daerah-daerah ekstrem. Kalau mau lewat juga, sopir harus membongkar sebagian muatannya. Fungsikan jembatan timbang secara benar dan tegas. Apakah Dinas Perhubungan berani? (Sawir Pribadi)