Faktual dan Berintegritas

 

Laporan Sawir Pribadi - Arab Saudi


PARA pedagang di Mekah dan Madinah pintar berbahasa Indonesia. Mereka pun lihai merayu jemaah Indonesia untuk berbelanja pada mereka.

"Seratus ribu, Jokowi," begitu antara lain para pedagang asongan menawarkan dagangan mereka di kawasan Masjidil Haram.

Rata-rata yang dijual adalah gamis, baik untuk perempuan maupun gamis laki-laki. Sebagai pedagang asongan mereka main kucing-kucingan dengan petugas keamanan. 

"Seratus ribu Jokowi," ulang pedagang tersebut.

Yang dimaksud dengan Jokowi bukan mantan Presiden RI, melainkan istilah untuk uang rupiah. Istilah Jokowi, karena mereka mengetahui (dulu) adalah Presiden Indonesia.

Di toko-toko atau swalayan, semua pelayan dan pemilik toko pun pintar berbahasa Indonesia. Bukan sekadar bahasa untuk bertransaksi, mereka banyak juga yang bisa diajak bicara dengan bahasa Indonesia.

"Seratus Riyal. Bisa pakai rupiah empat ratus ribu," ujar seorang pedagang salah satu toko tak jauh dari Masjidil Haram.

"Tidak bisa!" Jawabnya ketika ada konsumen yang menawar dagangannya terlalu rendah. Memang berbelanja di kawasan itu nyaris sama dengan di pasar-pasar Sumatera Barat. Kelihaian maago (menawar) diperlukan. Jika tidak, bisa terbeli mahal.

Para pedagang bukan hanya orang Arab, tetapi juga ada dari India, Pakistan, Myanmar, Mesir, Turki, Syria dan negara-negara Jazirah Arab lainnya.

Ada hal menarik dari para pedagang tersebut. Walau pintar berbahasa Indonesia, tapi banyak yang belum pernah ke Indonesia.

Seorang pedagang mengaku bernama Syayeed mengatakan belum pernah ke Indonesia. Ia memang ingin ke Indonesia, tapi kesibukannya melayani konsumen di toko, membuat kesempatan itu belum datang.

"Doakan saya bisa ke Indonesia," kata pedagang di kawasan Masjidil Haram itu.

Hal yang sama diakui karyawan toko di Madinah. Walau bisa menggunakan bahasa Indonesia, nanyak memiliki perbendaharaan kata, tapi belum ada ke Indonesia. Ia malah ingin ke Jakarta, tapi entah kapan.

"Ke Indonesia, ya, belum," jawab karyawan mengaku bernama Ahmed sambil menggeleng, tersenyum.

Lalu dari mana para pedagang tersebut belajar bahasa Indonesia? Banyak yang mengaku dari para pembeli saja.

Bertahun-tahun mereka berjualan, setiap saat bertransaksi dengan jemaah dari Indonesia, akhirnya mereka bisa mengerti istilah-istilah Indonesia, lalu mengucapkannya.

Otodidak, begitulah kira-kira para pedagang tersebut untuk bisa berbahasa Indonesia. Mau belajar tidak ada tempat kursusnya, waktu untuk belajar juga tidak ada. Maklum toko mereka rata-rata buka 24 jam dan selalu ramai. Maklum kawasan Masjidil Haram di Mekah maupun di kawasan Masjid Nabawi Madinah ramainya 24 jam.

Bukan hanya di Mekah dan Madinah, di Kota Thaif pun para pedagang menawarkan dagangannya dengan menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan anak-anak jika ditaksir masih berumur 8 tahun yang berjualan asongan menggunakan bahasa Indonesia.

"Ayo Bapak, sepuluh riyal," katanya menawarkan dagangan strawberry sebesar-besar ampu kaki dan telah dikemas. (*)

 
Top