RANAH penegakan hukum di Indonesia bergetar. Tiga oknum hakim baru saja ditangkap Kejaksaan Agung. Berbagai media menyoroti peristiwa ini.
Ketiganya adalah hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur yang beberapa waktu lalu menjatuhkan vonis bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur dalam kasus dugaan pembunuhan. Mereka ditangkap Kejaksaan Agung terkait dugaan suap.
Kita prihatin terhadap kasus ini. Terlepas dari benar atau tidaknya ketiga oknum hakim dimaksud menerima suap untuk memutuskan perkara, yang pasti dunia hukum di Indonesia telah tercoret oleh ulah mereka.
Dari awal vonis tersebut dijatuhkan, sebenarnya sudah banyak kecurigaan dari masyarakat. Bayangkan, kasus pembunuhan tergolong sadis berakhir dengan vonis bebas. Luar biasa, bukan?
Hakim adalah wakil Tuhan di bumi, sebagai pengadil. Mereka yang harus menyatakan benar atau tidaknya dalam suatu perkara. Pada toga dan palu mereka masyarakat menumpangkan nasib, bukan di kantong apalagi di rekening mereka.
Sekarang harapan keadilan itu mereka obrak abrik. Hukum diutak atik, yang harusnya bersalah, dijadikan tidak bersalah, lalu divonis bebas. Akibatnya mereka pun berhadapan dengan hukum. Mereka yang dulu dipanggil yang mulia, sekarang harus menunduk di meja penyidik hingga akhirnya berhadapan dengan pula dengan hakim lain.
Sekali lagi kita prihatin oleh tiga oknum hakim dimaksud. Apalagi baru saja Presiden Prabowo Subianto menyatakan salah satu program kabinetnya fokus dengan penegakan hukum dan pemberantasan judi online. Pihak-pihak yang tidak bisa bekerja secara benar agar dicopot saja.
Ini adalah perintah seorang Presiden yang baru saja mengucapkan sumpah jabatan di hadapan ratusan juta penduduk Indonesia dan harus dipatuhi. Lalu, bagaimana dengan ketiga oknum hakim ini?
Terlepas dari terbukti atau tidaknya mereka menerima suap pada sidang nantinya, yang pasti hari ini hukuman pertama sudah jatuh kepada mereka. Salah satu hukuman itu adalah tidak ada lagi sapaan yang mulia. Belum lagi cibiran masyarakat terhadap mereka.
Ingat, hukuman masyarakat agaknya jauh lebih sakit daripada hukuman penjara. Karena itu apa yang terjadi pada ketiga oknum hakim ini patut menjadi pelajaran bagi hakim-hakim lainnya. Jangan jual independensi dan harga diri kalian yang berbalut toga dan senjata palu itu. Tetaplah menjatuhkan vonis berdasarkan keadilan sebagaimana kalian ucapkan sesaat sebelum memukulkan palu.
Mudah-mudahan ini adalah kasus terakhir yang melibatkan hakim. Semoga! (Sawir Pribadi)