TAHAPAN pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2024 sedang berlangsung. Sedikitnya ada 43 daerah di Indonesia yang hanya punya calon tunggal. Tak ada lawan. Salah satunya terdapat di Sumatera Barat.
Publik menyebut, bagi calon tunggal akan melawan kotak kosong pada pelaksanaan pemungutan suara 27 November 2024 mendatang. Aturan tidak membolehkan aklamasi. Karena ini bukanlah pemilihan ketua organisasi.
Jika di suatu daerah terjadi hanya ada satu pasangan calon, KPU memutuskan memperpanjang masa pendaftaran calon pada Pilkada 2024 selama tiga hari, pada 2-4 September 2024. Hal itu mengacu pada Pasal 135 PKPU Nomor 10 Tahun 2024.
Andaikan tidak ada perpanjangan masa pendaftaran, atau setelah diperpanjang tidak juga ada calon lain, maka pemungutan suara tentu akan dilangsungkan. Hanya saja di tempat pemungutan suara terdapat kotak tanpa pemilik. Yang mendukung pasangan calon tentu akan mencoblos gambar yang bersangkutan. Sebaliknya yang tidak mendukung, maka suara untuk kotak kosong.
Sampai di sini tidak adalah masalah. Akan lebih tidak ada masalah lagi jika pasangan calon memperoleh suara mayoritas.
Sebaliknya jika suara kotak kosong lebih banyak, tentu akan berdampak kurang elok terhadap demokrasi, terutama pasangan calon. Masa kalah sama kotak kosong.
Kenapa tidak banyak orang yang mau menjadi calon kepala daerah, sehingga harus melawan kotak kosong di pilkada? Banyak jawaban dan indikasinya, antara lain takut tidak amanah jika terpilih, takut kalah, banyak biaya, tidak punya partai politik atau tidak ada parpol mengusung, dan sederetan panjang alasan lainnya.
Banyaknya calon tunggal pada kegiatan pilkada kali ini perlu menjadi perhatian serius dari berbagai pihak. Memilih kepala daerah adalah hal yang tidak sederhana. Namanya saja pemilihan, tentu harus ada yang dipilih. Jika satu, bagaimana mau memilih. Lebih kurang sama dengan pemaksaan namanya.
Untuk bisa dipilih, selain dibutuhkan tokoh yang benar-benar dinilai mampu menjalankan amanah, juga harus didukung oleh berbagai hal, antara lain dukungan partai politik, dukungan finansial dan lain sebagainya. Orang miskin jangan bermimpi menjadi calon kepala daerah.
Soal amanah, agaknya semua orang punya jiwa itu. Hanya saja ada faktor internal dan eksternal yang kadang bisa mengubahnya, sehingga orang yang awalnya terlihat amah berubah menjadi tidak amanah. Orang yang sebelum dipilih terlihat alim, bisa saja merubah zalim.
Faktor finansial, memang tidak semua orang bisa. Walaupun hebat, punya tingkat amanah tinggi, jika tidak didukung finansial, maka keikutsertaan yang bersangkutan untuk calon di pilkada akan tetap sulit.
Oleh karena itu, agar tidak sulit mencari calon kepala daerah selayaknya mengurangi cost pada bakal calon. Ingat biaya yang tinggi, akan menyebabkan seseorang berpikir seribu kali untuk mengembalikan modal awal. Jika calon terpilih masih berpikir mengembalikan modal, maka tugas-tugas yang diamanahkan masyarakat tidak akan terlaksana dengan baik. Malah sebaliknya bisa berujung ke penjara. (Sawir Pribadi)