Faktual dan Berintegritas


HARI pemungutan suara pemilihan kepala daerah serentak 2024 semakin dekat. Jika dihitung dari sekarang tinggal sekitar 65 hari lagi.

Ada 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota yang menggelar pilkada tahun ini. Dalam jumlah itu, termasuk Sumatera Barat.

Dalam beberapa waktu belakangan, para bakal calon kepala daerah sudah mulai mensosialisasikan diri kepada masyarakat. Ada yang secara langsung berhadapan dengan penduduk, dan ada pula yang memanfaatkan media, baik media cetak, elektronik maupun media sosial.

Perlu diketahui, bahwa tidak semua daerah memiliki bakal calon yang dibilang ‘cukup’ untuk dipilih oleh masyarakatnya. Dari 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota itu terdapat puluhan daerah yang hanya punya bakal calon tunggal. Awalnya ada 43 daerah yang punya calon tunggal, namun setelah dilakukan penambahan waktu pendaftaran oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat ini tinggal 35 daerah, terdiri dari 1 provinsi dan 34 kabupaten/kota. Dari 34 kabupaten/kota dimaksud, terdapat satu kabupaten di Sumatera Barat, yakni Kabupaten Dharmasraya.

Namanya pemilihan kepala daerah, tentu mesti ada pilihan. Jika calon hanya ada satu, berarti masyarakat pemilih tidak memiliki pilihan. Mau dilakukan aklamasi layaknya pemilihan ketua organisasi, tidak boleh!

Bagi daerah yang punya calon tunggal, masyarakat lebih menyebutnya dengan melawan kotak kosong. Memang, nantinya pada hari pencoblosan 27 November 2024, setiap calon tunggal akan melawan kotak kosong.  Gunanya bisa saja sebagai alat ukur sejauh mana masyarakat care dan memilih sang calon tunggal tersebut.

Sejurus itu, ini sekaligus sebagai media untuk membuktikan apakah partai politik pengusung sang calon tunggal linear atau seirama dengan pilihan masyarakat atau tidak, maka di sanalah diuji. Andaikan sang calon tunggal menang, maka semua boleh bertepuk tangan hingga bersorak sorai. Sebaliknya jika kotak kosong yang menang, apa kata dunia?

Di sinilah terjadinya persoalan yang cukup krusial nantinya. Walau dari segi aturan, jika kotak kosong menang, bisa dilakukan pemilihan lagi setahun kemudian, namun di tengah-tengah masyarakat, adalah bukti bahwa sang calon tunggal tidak disukai oleh masyarakat.

Miris dan memprihatinkan sekiranya kotak kosong yang menang. Itu sekaligus sebagai manifestasi bahwa partai politik yang banyak tidak bisa membaca keinginan masyarakat sebagai pemilik sah daerah bersangkutan.

Oleh karena itu, partai politik pengusung calon tunggal bersiap-siaplah untuk sebuah realita nantinya. Sekiranya memang kotak kosong yang menang, pertanda partai politik tak mampu membaca aspirasi masyarakat. Semoga saja hal itu tidak terjadi. Semoga! (Sawir Pribadi)

 
Top