Faktual dan Berintegritas

Ilustrasi tirto.id 

PEMERINTAH resmi melarang setiap orang menjual rokok secara eceran per batang. Produk rokok elektronik juga dilarang dijual kepada yang berusia di bawah 21 tahun dan perempuan hamil. Lebih dari itu, pedagang tidak boleh menjual rokok dekat sekolah atau yang ramai anak.

Hal itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Aturan ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 26 Juli 2024 lalu dan langsung berlaku di seluruh wilayah Indonesia.

Kita yakin, sebelum PP ini diberlakukan tentu telah melalui berbagai tahapan serta melibatkan berbagai pihak. Sebab, salah satu tujuan besar yang hendak dicapai tentulah demi kesehatan masyarakat.

Merokok memang tidak sehat. Merokok banyak mengandung bahaya terhadap kesehatan konsumen dan masyarakat sekitar.

Walau demikian, Anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo berpendapat bahwa penting juga sebelum menerapkan larangan ini, pemerintah melakukan kampanye publik yang luas dan intensif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya rokok.

Setuju atau tidak, begitu banyak pihak yang bersinggungan dengan larangan dimaksud. Salah satu di antaranya adalah pedagang kaki lima (PKL).

Memang kebanyakan yang belanja rokok di gerobak atau lapak PKL adalah dalam bentuk eceran per batang. Masyarakat yang membeli satu bungkus biasanya di minimarket atau bukan di PKL.

Perlu diketahui, salah satu sumber pendapatan pedagang kaki lima, terutama yang berjualan rokok adalah dengan jualan eceran. Ketika itu tidak boleh lagi, jelas akan menyumbat pintu pendapatan mereka.

Kita tentu mendukung upaya pemerintah dalam menyehatkan masyarakat dengan mengeliminir perokok. Namun benarkah, jumlah perokok di negeri ini berkurang?

Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan, jumlah perokok aktif di Tanah Air diperkirakan mencapai 70 juta orang. Sebanyak 7,4 persen di antaranya merupakan perokok berusia 10-18 tahun. Artinya ini adalah kalangan anak-anak dan remaja.

Kementerian Kesehatan merilis hasil survei global penggunaan tembakau pada usia dewasa (Global Adult Tobacco Survey – GATS) yang dilaksanakan tahun 2011 dan diulang pada tahun 2021 dengan melibatkan sebanyak 9.156 responden. Dalam temuannya, selama kurun waktu 10 tahun tersebut terjadi peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari 60,3 juta pada tahun 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada tahun 2021.

Ini adalah bukti bahwa terjadi peningkatan jumlah perokok aktif di Tanah Air. Sebaliknya, angka perokok pasif dipastikan jauh lebih besar dari itu. Sebab, satu orang perokok aktif bisa mengakibatkan sejumlah orang di sekitarnya menjadi perokok pasif.

Peningkatan angka dimaksud sekaligus membuktikan bahwa kampanye-kampanye di kemasan rokok tidak berarti apa-apa bagi perokok. Bahkan, uang untuk membeli sembako bisa beralih untuk pembeli rokok.

Kata orang-orang yang berpikir ekstrem, tutup saja pabrik rokoknya abis perkara! Tidak mungkin. Ini justru akan menimbulkan masalah besar lainnya.

Yang bisa dilakukan adalah mengawal PP tersebut. Berikan sanksi bagi yang melanggar. Anak-anak di bawah 18 tahun misalnya jangan beri ruang untuk membeli rokok dalam bentuk apapun. Pedagang rokok dekat sekolah atau yang ramai anak-anak harus diberi sanksi, minimal dilarang jualan rokok atau dipindahkan ke lokasi lain.  Mari mencontoh ke negara-negara yang sukses dengan aturan seperti itu. (Sawir Pribadi)

 
Top