Faktual dan Berintegritas


PADANG -- Seiring meningkatnya kasus tindak kekerasan terhadap anak di Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), kekuatan hukum adat di nagari sebagai satu sanksi sosial diharapkan mampu menjadi solusi. Penerapan sanksi sosial adat ini bisa dimulai diantaranya dengan pemberlakuan hukum adat anti maksiat di tingkat nagari.

Hal ini disampaikan Ketua Majelis Ulama (MUI) Sumbar, Buya Gusrizal Gazahar dalam rapat koordinasi perlindungan anak di Provinsi Sumbar, yang digelar Kementerian Sosial RI melalui Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Padang, di Aula BBPPKS Padang, Jl Alai Kapalo Koto, Padang, Senin (5/8).

"MUI Sumbar sudah pernah mengusulkan penerapan hukum adat atau peraturan nagari yang bisa mencegah kekerasan seksual atau perbuatan LGBT di nagari. Namun sampai sekarang belum ada nagari yang menerapkan,"ujar Buya Gusrizal.

Upaya pencegahan lainnya menurut Buya Gusrizal adalah membekali calon penganten tentang tanggungjawab menjadi orangtua, serta memperkuat koordinasi antar Lembaga dalam bentuk aksi, bukan hanya sebatas rakor atau seremonial.

"Kita perlu koordinasi antar lembaga, tapi selama ini hanya seremonial rakor saja. Koordinasi harus diperkuat. Serangannya semakin hebat, pertahanan kita semakin kendor, banyak potensi kebaikan di tengah masyarakat semakin tidak berfungsi," lanjut Buya.

"Ini kelalaian. Mulai dari tidak ada persiapan membina rumah tangga, keluarga lalai, pemerintah lalai, ulama dan tokoh adat lalai," tambahnya.

Pendapat serupa juga disampaikan antropolog dari Universitas Andalas, Dr. Sri Setiawati, yang tampil sebagai narasumber pada sesi kedua rakor yang diikuti 45 perwakilan dari berbagai unsur, instansi, komunitas, hingga praktisi, ini.

Menurut Sri, penerapan hukum adat di Sumatera Barat sudah didukung berbagai instrumen yang akan memperkuat dan dampaknya akan lebih berarti.

"Instrumen itu ada, peradilan adat misalnya. Hukum sosial ini akan lebih berdampak, sebab akan terkait dengan citra kaum, dan sukunya. Akan ditanya apa sukunya, hingga siapa datuaknya, jadi sampai kesitu," kata Sri.

Selain dua tokoh diatas, rakor yang bertujuan melahirkan program aksi perlindungan anak yang dapat di implementasikan di daerah, ini juga menghadirkan narasumber dari LKAAM Sumbar, Sosiolog dari Universitas Negeri Padang, tokoh adat, psikolog, dan akademisi dari Poltekesos Bandung.

Sebelumnya, Staf Khusus Kementerian Sosial Fauzan Amar, dalam sambutan pembukaan rakor, menyampaikan, Rakor ini diharapkan mampu menjadi wadah atau forum Bersama dalam rangka perlindungan anak dari kekerasan, khususnya di Sumbar.

"Anak rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan. Keluarga dan lingkungan terdekat berpotensi menjadi penyebab. Pengaruh perkembangan teknologi media sosial juga sangat besar. Oleh sebab itu kita harus terus kawal bersama dengan upaya preventif," ucap Fauzan.

Hal serupa juga disampaikan Kepala BBPPKS Padang Serimika Br. Karo. Ia berharap rakor ini akan menghasilkan program stop kekerasan pada anak, sehingga kasus ini tidak terus terjadi.

Beberapa rencana aksi dihasilkan dalam rakor ini, di antaranya melakukan kegiatan Peksos goes to school, Peksos goes to pesantren, penguatan edukasi pada anak tentang bagian tubuh sensitif yang tidak boleh disentuh orang lain, edukasi pada anak agar berani melaporkan tindak kekerasan yang dialami, video stop kekerasan pada anak hingga khutbah jumat dengan tema stop kekerasan pada anak. (kmf)

 
Top