2024 adalah tahun politik. Setelah Pemilu Legislatif dan Presiden pada 14 Februari lalu, masyarakat akan dihadapkan pada pemilihan kepala daerah. Jika tidak ada aral melintang, sesuai jadwal yang telah dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemungutan suara pemilihan kepala daerah akan diselenggarakan pada 27 November 2024 mendatang.
Tinggal empat bulan lagi untuk sampai pada jadwal pemungutan suara. Saat ini semua partai politik sudah mulai sibuk mencari figur dan menyusun strategi menghadapi pilkada dimaksud. Partai politik yang tidak memenuhi syarat mengajukan calon kepala daerah hilir mudik untuk menjalin komunikasi yang ujungnya nanti koalisi.
Untuk sebuah koalisi agar memenuhi syarat mencalonkan kepala daerah, terkadang partai politik mengabaikan cerita masa lalu. Walau di masa lalu, beda pilihan bahkan beda arah perjuangan misalnya, namun demi kemenangan di pilkada ke depan diabaikan. Bahkan perbedaan pada pilpres dan legislatif Februari kemarin seolah-olah dilupakan saja.
Inilah maka istilah ‘tak ada lawan dan kawan abadi’ dalam kancah perpolitikan semakin subur di tengah negeri yang multipartai ini. Tokoh yang kemarin berkawan bahkan berperan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah, ke depan bisa menjadi rival atau lawan berat. Begitu juga sebaliknya. Kasihan pendukung-pendukung partai politik yang tidak memahami ini, sehingga sulit sekali untuk move on.
Untuk dipahami, hitung-hitungan dalam menjalin koalisi tentulah punya konsekuensi. Tidak mungkin dua partai politik atau lebih mau menjalin kebersamaan untuk memajukan calon kepala daerah atau wakilnya tanpa hitung-hitungan dan pembagian peran.
Setidaknya, jika menang dalam pertarungan politik di pilkada misalnya, maka itu adalah kemenangan dua atau lebih partai koalisi. Ibarat kongsi dalam berniaga, jika berlaba, maka laba dibagi secara proporsional. Sebaliknya, apabila koalisi belum beruntung, maka itu adalah kegagalan sekaligus kerugian bersama. Idealnya memang begitu!
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila seusai pemilu dan pilkada, pemenang berpesta. Ada pesta yang hanya sekadar gembira-gembira saja dari dunia nyata hingga dunia maya dan ada pula yang berbagi ‘jatah’. Banyak yang bisa dibagi, seperti jabatan, posisi hingga kepada proyek-proyek.
Di antara indikasi jabatan yang ‘dibagi-bagi’ usai pemilu misalnya terdapat menteri dan setingkatnya, duta besar, komisaris serta lain sebagainya. Makanya tidaklah mengherankan apabila ada di antara politisi yang kebagian ‘jatah’ sebagai komisaris serta lainnya. Tidak ada makan siang yang gratis, bukan? No such thing as a free lunch. Begitu juga dalam pilkada, indikasi demikian bisa dibaca.
Tapi, jika koalisi tidak beruntung apa yang mau dibagi? Kesedihan? Atau ‘merapat’ ke pemenang. Ini juga sudah biasa. Sekali lagi tidak ada lawan yang abadi dalam politik, kecuali kepentingan. (Sawir Pribadi)