Ilustrasi |
BANGSA Indonesia baru saja selesai melaksanakan peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada 2 Mei kemarin. Di sekolah-sekolah, dinas pendidikan hingga kantor-pantor pusat pemerintahan seperti kantor bupati, walikota hingga gubernur menyelenggarakan upacara Hardiknas dimaksud.
Ini adalah rutinitas tahunan setiap 2 Mei. Kadang ada yang sampai meliburkan peserta didik hanya demi upacara peringatan Hardiknas. Tidak cukup dengan upacara, ada pula berbagai kegiatan yang diselenggarakan seperti lomba, pertandingan, anjangsana dan lain sebagainya. Semuanya adalah hal positif.
Lalu, apakah peringatan Hardiknas sudah berbanding sejajar dengan buah pendidikan itu sendiri? Pertanyaan lebih menukik, sudahkah masyarakat merasakan manisnya pendidikan tersebut? Sejauh mana tingkat keterpendidikan generasi sekarang di tengah-tengah masyarakat?
Pertanyaan demi pertanyaan tersebut tentu perlu dijawab secara objektif oleh kita semua. Sebab, merujuk kepada lahirnya Hari Pendidikan Nasional pada tahun 1959, maka hingga sekarang usianya sudah 65 tahun. Artinya sudah selama itu pula upacara 2 Mei selalu dilaksanakan di negeri ini.
Bahwa pendidikan di Indonesia sudah mengalami peningkatan dan kemajuan, kita akui. Banyak sarjana lahir tiap semester. Strata pendidik guru pun meningkat dan banyak yang sudah tamatan S2.
Namun di balik itu semua, masih banyak persoalan yang menyungkup dunia pendidikan kita. Mulai dari gonta ganti kurikulum hingga aplikasi pendidikan itu sendiri di sekolah-sekolah dan masyarakat.
Hari ini, para pendidik disibukkan dengan berbagai aplikasi digital, lalu wara wiri ke kantor dinas. Akibatnya, sering kewajiban mengajar dan mendidik tertinggal atau malah ditinggalkan. Jika pelajaran anak-anak didik tertinggal agaknya masih bisa diganti dengan kegiatan belajar mandiri atau secara online. Tapi dalam hal pendidikan, ini agak sulit.
Mari kita buka mata, betapa banyaknya kasus bullying atau perundungan akhir-akhir ini. Tak cukup di sekolah, malah dibawa hingga keluar sekolah. Betapa banyaknya angka kejahatan yang melibatkan anak-anak usia sekolah, baik kejahatan sosial maupun yang sudah kategori kriminal.
Yang lebih ringan lagi, saat ini banyak anak sekolah yang tidak mengindahkan etika sosial di masyarakat, bahkan di sekolah. Mereka tak lagi hormat pada guru dan orang tua. Hidup anak-anak sekolah sekarang seolah terbelenggu sendiri, tanpa hirau dengan lingkungan baik lingkungan keluarga apalagi lingkungan masyarakat.
Dalam hal ilmu pengetahuan pun demikian, cobalah tanya beberapa pelajar SMA sederajat, kenapa tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional? Adakah di antara mereka yang tahu? Kemudian coba tanya, tahukah mereka dengan Sumpah Pemuda? Suruhlah mereka mengucapkan teks Proklamasi dan menyebutkan agak lima nama pahlawan nasional. Pasti banyak yang tidak bisa!
Ini adalah buah yang kita petik hari ini. Bahwa anak-anak sekolah kita telah terbelenggu oleh kesibukan diri sendiri. Bahwa pelajar kita sekarang tidak mengerti dengan sejarah negerinya sendiri. Bahwa peserta didik kita sekarang tidak peduli dengan sosial kemasyarakatan.
Ini hanya sebagian kecil yang kita nikmati. Ibarat penyakit, ini baru beberapa gejala. Lalu, apakah gejala itu akan dibiarkan menggerogoti tubuh kita, atau diantisipasi dan diobati. Tentu berpulang kepada kita semua, terutama para pengambil kebijakan di negeri ini. (Sawir Pribadi)