Ilustrasi Biro Pers Setpres |
DALAM beberapa hari terakhir publik meributkan pernyataan Presiden Jokowi tentang kampanye dan keberpihakan presiden. Netralitas pejabat publik yang selama ini disampaikan di sejumlah kesempatan pun cedera.
Awalnya Jokowi mengatakan bahwa presiden hingga menteri boleh berkampanye dan memihak dalam pemilu. Pernyataan begini tidak pernah jadi pembicaraan pada pemilu-pemilu sebelumnya, termasuk setelah Jokowi menyelesaikan tugas lima tahun periode 2014-2019 lalu.
Sekarang, ketika Jokowi mau mengakhiri masa jabatan 2019-2024, tiba-tiba ia mengeluarkan pernyataan yang cukup membuat ramai, yakni presiden boleh kampanye dan memihak calon tertentu. Bagi pihak yang diuntungkan, tidak ada persoalan, tapi bagi pihak yang ‘berseberangan’ mungkin saja merugikan. Suara makin riuh lantaran putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka ikut dalam kontestasi Pemilu 2024 yang berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Lalu, bolehkah seorang presiden ikut berkampanye?
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Pasal 299 ayat (1) disebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye. Disambung dengan ayat (2) bahwa pejabat negara lainnya yang berstatus sebagai anggota partai politik mempunyai hak melaksanakan kampanye.
Pada UU Pemilu dimaksud juga mengatur hal yang tak boleh dilakukan oleh presiden, menteri hingga pejabat negara lain dalam berkampanye. Dalam Pasal 302 disebutkan bahwa dalam melaksanakan kampanye, presiden dan wakil presiden, pejabat negara, pejabat daerah dilarang menggunakan fasilitas negara.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 itu dengan terang menyatakan bahwa seorang presiden boleh melakukan kampanye. Hanya saja, selama melakukan kampanye dilarang menggunakan fasilitas negara, seperti kendaraan dinas, gedung kantor, rumah dinas, rumah jabatan milik pemerintah, milik pemerintah provinsi, milik pemerintah kabupaten/kota, sarana perkantoran dan lain sebagainya.
Berarti berdasarkan undang-undang tidak ada yang dilanggar oleh seorang presiden yang ikut kampanye atau mengkampanyekan calon presiden tertentu. Ini bisa dipahami.
Hanya saja, untuk diketahui bahwa dalam hidup dan kehidupan berbangsa serta bernegara, seorang pemimpin haruslah memegang teguh prinsip keadilan. Jika seorang presiden sudah memihak salah satu calon presiden, akankah prinsip keadilan itu masih bisa dipakai? Sekiranya nanti dalam perjalanan Pemilu 2024 ini terjadi hal-hal yang di luar prediksi, apakah presiden akan bisa juga berlaku adil?
Setuju atau tidak, apabila seorang pemimpin sudah berpihak pada salah satu calon, maka nilai objektivitasnya akan berkurang. Netralitas yang dipidatokan dan diucapkan selama ini pun menjadi hambar.
Lalu, dengan adanya nilai-nilai di luar undang-undang, dalam situasi dan kondisi seperti sekarang, etiskah seorang Presiden Jokowi ikut berkampanye? Andaikan ia berkampanye untuk pasangan calon yang di sana ada anaknya, apakah itu tidak masuk dalam kategori nepotisme?
Apapun penilaian terhadap pernyataan Presiden Jokowi tersebut, kita berharap Pemilu 2024 berjalan dengan baik di atas rel yang sudah ada. Pihak-pihak yang seharusnya netral, tetaplah menjaga netralitasnya. Dengan demikian kita dapatkan presiden-wakil presiden yang diharapkan masyarakat secara umum. Semoga! (Sawir Pribadi)