KOMITE Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) merekomendasikan jalan Sitinjau Lauik untuk ditutup. Karena jalan itu disebut jalur kematian oleh KNKT.
Adalah sah-sah saja rekomendasi demikian, sebab memang selama ini jalur Sitinjau Lauik itu sudah tersohor ke seantero Indonesia hingga luar negeri. Hampir setiap hari terjadi kecelakaan dan tak jarang menimbulkan korban jiwa.
Lalu pertanyaannya, apakah memang harus ditutup? Tidakkah ada solusi lain? Jika penutupan dilakukan secara insidentil, agaknya tidak terlalu masalah. Namun, jika dilakukan penutupan secara permanen, atau katakanlah selama pembangunan flyover, perlu kajian dan analisa yang matang.
Untuk diketahui, jalur Sitinjau Lauik adalah penghubung utama Kota Padang selaku pusat pemerintahan Sumatera Barat dengan daerah-daerah timur. Setidaknya ada enam kabupaten/kota mengandalkan jalur ini sebagai penghubung utama. Ke enam daerah itu merupakan produsen kebutuhan pokok, mulai dari beras hingga sayuran, bumbu dan buah-buahan.
Begitu juga sebaliknya jalur Sitinjau Lauik menjadi andalan bagi barang-barang kebutuhan hidup masyrakat di enam kabupaten/kota dimaksud. Sebutlah bahan bakar minyak (BBM), semen serta bahan bangunan lainnya. Jalur ini juga sebagai tempat lewat ikan, bahan sandang dan seterusnya.
Tidak saja vital bagi enam kabupaten/kota di wilayah timur Sumbar, Sitinjau Lauik memperdekat jarak dengan berbagai provinsi, seperti Jambi, Sebagian Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung hingga provinsi di Pulau Jawa.
Soal istilah jalur kematian, jelas tidak bisa dibantah. Tapi kendaraan mana yang sering mengalami kecelakaan di jalur itu? Yang terbanyak adalah truk-truk kelebihan muatan. Sementara kendaraan pribadi dan kendaraan umum sangat jarang mengalami kecelakaan.
Karena itu, sebelum mengikuti rekomendasi KNKT, perlu dilakukan studi dan pembicaraan matang dengan melibatkan semua unsur. Soal angka kecelakaan lalu lintas misalnya, tentu ada pada Ditlantas Polda Sumbar. Ini perlu dilibatkan.
Dalam hal ini, salah satu langkah tindakan yang harus dilakukan adalah dengan mengawasi truk-truk yang melintas di sana secara ketat. Jangan ada toleransi. Jika ada temuan truk kelebihan muatan, tidak cukup dengan tindakan tilang apalagi ‘berdamai’. Petugas harus berani memberlakukan bongkar di tempat, lalu pindahkan ke truk cadangan.
Untuk itu, jembatan timbang yang ada di Lubuk Selasih, Kabupaten Solok mesti dimaksimalkan. Langkah lainnya pihak Dinas Perhubungan Sumbar perlu bicara dari hati ke hati dengan pengusaha truk.
Lebih dari itu, aparat Kepolisian mesti melakukan tindakan tegas terhadap oknum dan para pengutip uang dari sopir truk. Jika ada ditemukan, maka berikan sanksi maksimal sesuai hukum yang berlaku. Sebab, salah satu keluhan sopir truk adalah banyaknya kutipan di sepanjang jalan, sehingga pengeluaran sopir menjadi besar. Inilah salah satu alasan mereka membawa muatan melebihi kapasitas yang diizinkan.
Terakhir kita berharap flyover segera diwujudkan di Sitinjau Lauik. Selain memperlancar arus lalu lintas, sekaligus menghidupkan destinasi wisata di berbagai kabupaten/kota. Semoga! (Sawir Pribadi)