LELAKI tua itu masih terlihat sehat. Ia kemudian mengajak saya masuk.
"Buk, Ibuk, ado tamu ko ha," teriaknya dari depan pintu.
"Sia tu?" Terdengar suara wanita menyahut dari dalam. Suara itu familiar betul bagi saya sekitar 36 tahun silam. Ya, 36 tahun jaraknya. Begitu panjang!
Beberapa saat kemudian wanita itu keluar sambil merapikan jilbab sorongnya.
Wanita itu tertegun memandang lama ke wajah saya. Sedikit alisnya naik, seolah-olah mengumpulkan memori.
Saya salami wanita itu sambil menyebut nama.
"Owaiii, anak ambo ruponyo," begitu ia berucap.
Cerita lalu mengalir ke masa 36 tahun silam. Terutama tentang keluarga dan rumah itu.
Kenapa rumah itu? Karena bagi saya sangat bersejarah. Itulah rumah tempat saya berteduh dari hujan dan panas ketika baru saja menghuni kota ini.
Wadudu. Saya menyebutnya begitu. Sekilas bunyi nada. Bukan!
Wadudu adalah rumah bernomor dua puluh dua di Jalan Walet, Air Tawar, Padang. Wadudu merupakan akronim dari Walet Dua Dua. Itu bikinan saya sendiri.
Rumah itu adakah kepunyaan pasangan suami istri nan harmonis. Sang suami ketika itu bekerja swasta, sedangkan istrinya seorang guru SD. Tiap pagi sang suami mengantar anakbya sekolah pakai Yamaha Bebek. Mereka memiliki anak-anak yang santun dan semua akrab dengan saya.
Kenapa saya ada di rumah itu di era 80-an? Sebagai anak kost!
Pasangan suami istri tersebut punya sejumlah kamar di samping rumahnya yang disewakan kepada mahasiswa. Ketika itu saya tercatat sebagai seorang mahasiswa di kawasan Air Tawar.
Sekarang 36 tahun berlalu. Wajah mereka tak lupa oleh saya.
Lelaki tua yang sudah 74 tahun itu terus bercerita tentang apa saja. Sejumlah nama yang pernah kost di sana ia sebut. Sesekali kami tertawa, terutama ketika saya cerita memarahi anak-anak penjual paruik ayam. Memang ketika itu saya marah lantaran yang dijual beda jauh dengan yang disorakkannya sepanjang jalan. Ia manjojo paruik ayam, tapi yang dijual godok ubi.
Setelah cerita itu, suasana berubah sedih. Lelaki tua itu bertanya nama kawan satu kamar, saya jawab bahwa yang dimaksud sudah tiada.
"Innalillahi wainna ilaihi rajiuun," potongnya.
Sebuah becak berhenti di depan. Ternyata penjual ikan. Sang ibuk tergopoh-gopoh menghampiri, lalu kembali membawa dua kantong ikan.
"Uni ka mamasak dulu. Lai makan siko beko?" Tanya si Uni.
"Lain kali lah Ni. Insyaallah ado waktunyo," jawab saya.
"Taruihlah maota jo Uda. Beliau jarang kalua. Lah banyak sakik-sakik. Kami lah pulang pokok se kini," katanya.
"Iyo, anak-anak ndak di siko. Marantau kasadonyo. Jadi kami pulang pokok se lai," sambung lelaki itu.
Sejenak pikiran saya melayang, membayangkan nasib ke depan. Apa yang dialami Uda dan Uni ini bisa jadi saya alami pula nanti. Inilah revolusi kehidupan itu.
Wadudu, tempat bersejarah. Walau cuma satu tahun saya mendiami rumah itu, tapi terasa sebagai pribumi. (Sawir Pribadi)