Ilustrasi Antara Sumbar |
AKHIR-akhir ini marak benar isu penculikan anak. Grup-grup aplikasi percakapan WhatsApp hingga media sosial diramaikan oleh isu-isu demikian. Tentu saja berbagai narasi mengapung ke permukaan, terkadang dengan bumbu yang menggugah ‘selera’ untuk membahas dan mengomentarinya.
Jika melihat pemberitaan-pemberitaan dalam beberapa waktu belakangan, isu peristiwa penculikan anak muncul di banyak daerah mulai dari kawasan Jabodetabek, Jawa Timur, Riau, bahkan merambah hingga Sumatera Barat.
Di Sumatera Barat katanya terjadi penculikan anak di Kota Padang dan Cupak, Kabupaten Solok. Kasus itu benar-benar membuat masyarakat ketakutan. Takut melepas anak pergi sekolah, takut membiarkan anak pergi mengaji dan aktifitas lainnya. Wajarlah! Karena memang menyangkut keselamatan anak-anak.
Dalam perkembangannya, peristiwa yang terjadi di Kota Padang, menurut keterangan polisi hanyalah sebuah rekayasa dari sang anak. Karena itu pula, pihak keluarga yang tadinya disebut sebagai korban harus meminta maaf kepada masyarakat luas.
Hebat juga anak-anak sekarang, masih di bangku sekolah dasar (SD) sudah bisa membuat rekayasa hingga membuncahkan negeri ini. Begitu juga isu yang mengalir dari Cupak, Kabupaten Solok, hanyalah rekayasa pihak orangtua lantaran ada masalah keluarga. Memprihatinkan, gara-gara masalah pribadi dan keluarga bikin masyarakat kalangkabut, resah dan ketakutan.
Lalu, benarkah Aksi penculikan anak yang menghebohkan masyarakat selama ini ada di Indonesia? Jawabnya ada! Bahkan ada kasus penculikan anak yang sudah ditangani aparat Kepolisian hingga disidangkan di pengadilan.
Disimak dari pemberitaan-pemberitaan berbagai media, kasus penculikan anak ada yang dilakukan pemulung, kemudian ada yang dilakoni sejumlah pelajar dan lainnya. Modusnya pun beragam, mulai yang dijadikan sebagai pemulung, pengamen atau dieksploitasi dalam bentuk lainnya hingga yang memang akan mengambil organ tubuhnya.
Agaknya kasus-kasus demikian pulalah yang menimbulkan masyarakat lekas curiga, lalu menvonis hingga main hakim sendiri kepada pihak yang dicurigai. Curiga sah-sah saja dan memang perlu, tapi tidak harus menghakimi yang bersangkutan apalagi hingga menimbulkan kematian.
Dalam kondisi seperti sekarang, langkah yang harus dilakukan adalah meningkatkan kewaspadaan. Menjaga anak-anak dengan lebih ekstra perlu dilakukan, terutama terhadap anak usia 1-13 tahun. Jangan beri peluang kepada pihak-pihak tertentu untuk melakukan kejahatan kepada anak-anak kita. Kejahatan dimaksud bukan cuma bahaya penculikan, tetapi bisa juga menyangkut penjambretan, kekerasan hingga pelecehan seksual yang tidak saja mengancam anak-anak perempuan, melainkan juga bisa menimpa anak laki-laki.
Mengutip pernyataan Bang Napi pada satu program televisi nasional, bahwa kejahatan tidak saja terjadi karena ada niat dari pelaku, tetapi juga karena ada kesempatan. Karena itu, waspadalah!
Psikolog dari Universitas Indonesia (UI) Irma Gustiana mengingatkan pentingnya meningkatkan pengawasan orangtua untuk mencegah penculikan anak. Sebab keamanan dan keselamatan anak merupakan tanggung jawab orangtua.
Selain itu, jangan mudah terprovokasi untuk main hakim sendiri. Jika ada orang-orang mencurigakan segera saja lapor kepada pemerintah, mulai dari RT, RW lurah atau kepolisian.
Sebaliknya, pihak berwajib yang menerima laporan masyarakat, diminta bergerak cepat. Jika lambat, bisa pula terjadi main hakim sendiri dari massa yang emosi. Oleh karena itu, mari sama-sama meningkatkan kewaspadaan. Orangtua waspada, masyarakat waspada dan aparat pun perlu lebih waspada! (Sawir Pribadi)