Catatan: Mohammad Nasir
(Wartawan Kompas 1989- 2018)
AKTIVIS organisasi pers Katherina Margaretha Saukoly berpulang dengan tenang di Rumah Sakit Koja, Jakarta Utara, sehari setelah dirawat karena komplikasi diabet.
Ketty— demikian panggilan akrabnya— melepaskan napas terakhir di usia 54 tahun, pukul 22.00 WIB, Kamis 19 Januari 2023. Detik-detik terakhir kepulangannya, ia didampingi Johanes, satu-satunya saudara kandungnya yang masih hidup.
Jenazahnya dimakamkan Sabtu, 21 Januari 2023, sekitar pukul 14.00 di Tempat Pemakaman Umum Budi Darma, Semper, Jakarta Utara.
Sebelum dimakamkan, jenazahnya dibaringkan di rumah Ketty di Kompleks Deperla H-3, Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara.
Kawan-kawannya datang melayat dan mendoakan. Ada kelompok wartawan istana presiden, ada kelompok Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan ada teman-temannya dari pengurus PWI Peduli seperti wartawan senior Karim Paputungan, Elly Sri Pujianti serta Ernawati Siahaan.
Ucapan duka cita datang dari mana-mana baik sebagai kawan pribadi maupun organisasi. Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Atal S Depari dan jajaran pengurusnya juga turut berduka, dan mengirim karangan bunga duka cita.
Begitu pula perkumpulan mantan wartawan istana (mawar istana) juga berkirim bunga sebagai tanda berduka. Perkumpulan mawar istana yang hadir ke rumah duka antara lain Casmo Tatilitofa, Carmelia Sukmawati, dan Hartalena Sitompul.
Bersama kawan-kawannya yang berasal dari Maluku, dia sempat ikut menulis buku berjudul “Bersatu Manggurebe Maju”.
Selain ditulis Ketty buku ini ditulis oleh wartawan-wartawan asal Maluku seperti M. Noeh Hatumena, John N. Sahusilawane, Levinus Kariuw, James Luhulima serta tokoh dari Maluku Letjen TNI (Purn) Suaidi Marasabessy.
Ketty memang punya pergaulan luas. Banyak teman. Dia mudah bergaul dengan siapa saja. Selama beberapa tahun terakhir, wartawan utama ini mengabdikan dirinya sebagai sekretaris panitia tetap lomba karya jurnalistik Adinegoro.
Dia juga tercatat sebagai pengurus PWI Peduli Pusat yang merupakan organisasi sosial dan kemanusiaan PWI Pusat.
Kegiatan organisasi dan sosialnya tinggi. Ketty memilih hidup sendiri dan memaksimalkan kegiatan sosial serta urusan organisasi.
“Mas Nasir, hubungi saya kalau perlu bantuan, Ketty pasti bantu,” kata Ketty kepada penulis yang sama-sama sebagai relawan di PWI Peduli ketika ia mulai bergabung di PWI Peduli.
Sebagai wartawan Ketty punya banyak kegiatan di luar kantornya. Tetapi kegiatannya tidak jauh-jauh dari organisasi pers. Maka tidak salah jika ia disebut sebagai aktivis organisasi pers.
Selain aktif di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat dan DKI Jakarta, ia aktif membantu penyelenggaraan lomba karya jurnalistik yang diselenggarakan tiap tahun hampir bersamaan Hari Pers Nasional (HPN).
Dia memang sekretaris panitia tetap lomba karya jurnalistik Adinegoro.
“Sebagai sekretaris panitia tetap lomba jurnalistik Adinegoro dia rajin, semangat dan kerja keras. Bahkan ketika sudah sakit, dia masih berusaha ikut rapat,” kata Ketua panitia tetap Lomba Karya Jurnalistik Adinegoro, Rita Sri Hastuti.
Kiprahnya di kepanitiaan Adinegoro, kata Rita, sangat membantu keberhasilan lomba karya jurnalistik Adinegoro yang hingga kini masih menjadi ajang lomba karya tulis bergengsi di Tanah Air.
“Kami merasa terbantu oleh Ketty. Kami benar-benar kehilangan dengan meninggalnya Ketty,” kata Rita Sri Hastuti.
Peliput Kegiatan Kepresidenan
Dia termasuk wartawan yang gigih dan tekun. Karir jurnalistiknya diawali ketika menjadi wartawan Harian Jayakarta awal 1990-an setelah ia menamatkan pendidikan sarjananya di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta (IISIP Jakarta).
Ketika bekerja di Koran Jayakarta, ia mendapat beasiswa untuk belajar di Program Pendidikan Wartawan Profesional di Lembaga Pendidikan, Penerbitan, dan Penelitian Yogyakarta (LP3Y) Tahun 1991.
Di lembaga pendidikan pers yang didirikan oleh tokoh pers Ashadi Siregar itulah, penulis mengenal Ketty, gadis berambut keriting yang lincah dalam melaksanakan tugas-tugas lembaga pendidikan hingga larut malam.
Selepas dari LP3Y, dia seperti anak burung yang sudah lepas dari sarangnya. Terbang tinggi kemana-mana.
Dia menjadi wartawan peliput kegiatan dan tugas Kepresidenan RI sejak era Soeharto hingga Presiden Joko Widodo saat berpasangan dengan Yusuf Kalla, di dalam maupun di luar negeri. Ketty ikut terbang kemana-mana mengikuti kegiatan presiden.
Ketty juga pernah meliput kegiatan internasional seperti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN, dan KTT Developing Eight (D8)/ Delapan Negera Berkembang di Turki. Kelompok D-8 ini mencakup Bangladesh, Indonesia, Iran, Malaysia, Mesir, Nigeria, Pakistan, dan Turki.
Perjalanan jurnalistik yang ia jalani perlahan-lahan, menjadi tumpukan pengalaman yang besar. Seabrek pengalaman biasanya bisa di-monetisasi. Tetapi bagi Ketty tidak begitu. Buktinya dia hidup dalam kesederhanaan.
Ketty suka menyenangkan orang banyak tanpa mementingkan kesenangan sendiri. Hidupnya altruistik. Begitulah wartawan pada umumnya.
Selain pernah bekerja di Harian Jayakarta pada tahun 1990-an, ia pernah bekerja di beberapa media di ibu kota.
Di era disrupsi teknologi dan sosial yang mengakibatkan media cetak bergelempangan, Ia berusaha tetap semangat menjadi wartawan, antara lain di Menteng GRIP Magazine Jakarta, Kabar7News.com dan menjadi Pemimpin Redaksi di Top-News.Id.
Untuk memaksimalkan manfaat pengetahuan dan pengalamannya, dia juga mendedikasikan dirinya sebagai penguji kompetensi wartawan di lembaga uji PWI Pusat mulai tahun 2012. Dia menguji kompetensi wartawan di mana-mana. Penguji nasional.
Ketika jumlah penguji di PWI bertambah banyak dan tidak memungkinkan memaksimalkan pengabdiannya, Ketty memperluas jaringan pengabdiannya.
Ketty membantu lembaga uji lain di luar PWI, yang membutuhkan penguji, yakni lembaga uji kompetensi wartawan yang dikelola oleh Fakultas Komunikasi Universitas Prof. Dr Moestopo (Beragama) atau UPDM (B) hingga akhir hayatnya.
Semasa hidupnya, ia tidak hanya menjadi penguji kompetensi wartawan, tetapi kerap didaulat menjadi nara sumber bidang jurnalistik di berbagai lembaga hingga ke Sumatera dan Sulawesi.
“Suatu pelajaran sekaligus kesempatan meningkatkan diri menjadi penguji kompetensi, saya sering berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman,” kata Ketty dalam sebuah biodata yang ia bagikan pada UPDM (B). Dalam biodata singkat itu, Ketty menyatakan merasa bersyukur dapat bergabung dengan lembaga uji kompetensi wartawan di UPDM (B).
Itulah Ketty, waktunya selalu ada untuk kita. Dia memilih hidup sendirian untuk bisa bekerja bersama kita.
Namun selama sakit di rumah sakit tidak ada yang menunggunya, kecuali saudara iparnya bernama Vani. “Selama sakit saya yang menunggunya di rumah sakit,” tutur Vani yang menjadi contact person ketika teman-teman Ketty akan menjenguknya.
Kini Ketty, aktivis organisasi pers itu telah tiada. Banyak kebaikan yang telah ditorehkan selama hidupnya, menjadi amal kabajikan. Selamat jalan Dra Katherina Margaretha Saukoly. (*)