HARI Raya Idul Fitri 1443 H telah berlalu 11 hari. Meski demikian nuansanya masih terasa hingga sekarang. Buktinya, orang-orang masih hilir mudik ke objek-objek wisata. Akibatnya, sejumlah ruas jalan masih padat, walau tidak semacet saat-saat lebaran kemarin.
Macet pada sejumlah titik di Sumatera Barat adalah pemandangan rutin setiap lebaran. Jangankan masa lebaran, di akhir minggu saja, sejumlah ruas jalan pasti ada yang macet. Contohnya Koto Baru, X Koto, Tanah Datar atau Padang Lua, Agam. Ini adalah fakta yang tidak bisa dibantah, termasuk oleh pidato-pidato pejabat.
Kenapa macet? Pertanyaan ini sangat mudah dijawab. Jumlah kendaraan senantiasa bertambah setiap hari dan bahkan setiap waktu. Tidak percaya? Berdirilah agak dua atau tiga jam saja di Sitinjau Lawik sana, lalu perhatian truk-truk yang membawa kendaraan baru, baik roda empat maupun roda dua. Puluhan bahkan mungkin ratusan jumlahnya setiap hari, dan itu selalu ludes oleh konsumen dari seluruh diler. Ini juga fakta. Tak percaya, tanyalah kepada manejer diler kendaraan.
Sebaliknya, jalan yang dimiliki oleh Sumatera Barat sejak dulu tidak pernah berubah. Jangankan bertambah lebar, menyusut malah yang terjadi.
Kenapa jalan menyusut? Karena bahu jalan sudah dipakai untuk parkir kendaraan dan tempat baralek. Bahu jalan juga berubah fungsi sebagai areal berdagang, baik yang dibikinkan pondok maupun yang jualan dengan kendaraan.
Kemacetan setiap lebaran bukan cerita baru. Sudah sejak lama. Lalu, kenapa pemerintah seperti tidak membaca itu? Kenapa pemerintah dan pihak-pihak terkait cenderung diam, lalu melakukan rapat-rapat saja yang tidak juga ada aksinya?
Jika pemerintah bertanya kepada masyarakat tentang solusinya, maka perlebarlah jalan-jalan utama di Sumbar ini, terutama yang mengarah ke destinasi wisata. Padang-Bukittinggi-Payakumbuh, misalnya jangan dibiarkan segadang itu juga. Perlebarlah!
Jika pemerintah beralasan, tidak gampang memperlebar jalan, banyak biayanya! Ya, jelas banyak dong. Masyarakat tidak mendukung dan tidak mau menyerahkan sedikit tanahnya kepada pemerintah. Contohnya pembangunan tol Padang-Pekanbaru.
Menyerahkan tanah begitu saja mungkin memang masyarakat tidak mau, tetapi cobalah lakukan pendekatan kemanusiaan, bangun hubungan batin dengan masyarakat dan gantilah kerugian masyarakat dengan harga manusiawi, pasti bisa!
Selain itu, khusus arah utara, percepatlah penyelesaian jalan tol. Di orang sudah siap, di kita masih sepotong-sepotong juga lagi.
Selain itu, saatnya pemerintah membangun jalan layang di sejumlah kawasan, terutama dalam kota seperti Kota Padang dan sekitar Bukittinggi. Jika dibandingkan dengan kota-kota lain di Tanah Air, mungkin Padang yang tidak punya jalan layang. Bahkan, jalan-jalan di Kota Padang, terbilang masih kecil.
Satu lagi solusinya, penempatan petugas di titik macet untuk bertugas. Jika ada di antara pengendara yang menjadi biang kemacetan langsung saja tindak. Sebab, sebagian pengendara di daerah ini ada yang ‘gilo ranang’. Sudah jelas macet, ia menyorong juga ke depan. Tentu ini memperparah kemacetan. Maka terhadap yang begini, langsung saja tindak tegas. Jika perlu tahan kendaraannya, biar sang sopir jalan kaki pulang.
Dengan solusi-solusi tersebut, yakinlah jeritan kemacetan setiap lebaran akan berkurang. Tak akan ada lagi carut marut tak karuan dari para pengguna jalan seperti tempo hari yang sampai viral pula di media sosial. Yakinlah! (Sawir Pribadi)