Faktual dan Berintegritas

Ilustrasi 

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Dalam waktu sangat berdekatan ada dua daerah yang menjadi tempat kejadian peristiwa OTT. Pertama adalah Kabupaten Langkat, Sumatera Utara dan kedua Surabaya, Jawa Timur.

Di Langkat yang terjaring OTT ada beberapa orang, satu di antaranya adalah bupati setempat, Terbit Rencana Perangin Angin. Sedangkan OTT di Surabaya menggulung hakim Pengadilan Negeri Surabaya, panitera dan pengacara.

Sebelum kedua OTT tersebut, KPK juga menangkap Bupati Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur dan Walikota Bekasi, Jawa Barat. Dengan demikian, dalam sebulan ini setidaknya ada empat kali OTT dilakukan oleh KPK.

Dari empat OTT tersebut, mayoritas kasusnya adalah sama. Baik yang melibatkan kepala daerah seperti di Bekasi, Penajam Paser Utara dan Langkat maupun yang melibatkan hakim, panitera dan pengacara di Surabaya, karena dugaan suap. Intinya adalah uang. Ya, uang!

Bicara OTT, bukanlah hal yang baru terjadi saat ini. Sejak KPK berdiri, OTT sudah banyak dilakukan. Karena banyak OTT, tentu banyak pula tersangkanya yang sudah dihukum. Bukankah setiap yang ditangkap selalu menuai hukuman penjara?  Lalu, kenapa tidak ada efek jera?

Mungkin pertanyaan ini banyak mengisi ruang-ruang kepala warga Indonesia. Sebab, memang OTT selalu saja ada dan ada, bagaikan tiada pernah sepi. Hukuman bertahun-tahun yang dijalani para terpidana korupsi sepertinya tidak punya dampak jera bagi yang lain. Apakah para koruptor sudah kebal? Atau jangan-jangan mereka punya prinsip ekonomi, dikorup miliaran hingga triliunan rupiah, toh hukumannya tidak seberapa? Artinya sekian tahun dipenjara, masih punya untung besar dibandingkan dengan uang negara yang masuk ke kas pribadi.

Jika memang ini salah satu alasan para peraup uang negara, maka tidak ada salahnya jika hukuman untuk para koruptor diperberat dan ditambah dengan yang lain. Misalnya hukuman minimal di atas sepuluh tahun, ditambah dengan pemiskinan. Semua aset yang dimiliki sang koruptor beserta keluarga dan kroninya disita untuk negara.

Agaknya inilah yang mungkin bisa membuat nyali para pejabat serakah ciut untuk melakukan korupsi. Jika tidak, maka yakinlah korupsi akan tetap terjadi di bumi pertiwi ini. Karena prinsipnya itu tadi, yakni hitung-hitungan ekonomi. Sekian ratus miliar dibanding dengan sekian tahun dalam penjara, masih ada untungnya. Toh, di dalam penjara masih dapat makan dengan gizi yang diperhatikan?

Oleh karena itu, saatnya pihak-pihak terkait seperti jaksa memberikan tuntutan hukuman sangat tinggi kepada para terdakwa korupsi. Begitu juga dengan para hakim, memutuskan kasus dengan vonis sangat tinggi ditambah pemiskinan dan lain sebagainya. Semoga dengan cara itu, korupsi bisa nihil di Indonesia. Semoga! (*)

 
Top