PADANG, SWAPENA -- Mulai 2022, azan Subuh di masjid-masjid dan mushalla-mushalla milik Muhammadiyah ataupun yang mengikuti jadwal shalat Muhammadiyah akan mundur 8 (delapan) menit, dari jadwal sebelum-sebelumnya. Hal ini berdasarkan pada keputusan lembaga tarjih Muhammadiyah, dimana hal ini juga sudah lama dipraktekkan dibanyak negara berpenduduk Islam.
Jadi jangan heran, jika nantinya azan tidak sama lagi meski masjidnya berdekatan. Itu berarti yang azan duluan, masih mengikuti ketentuan jadwal yang dikeluarkan Kementerian Agama RI.
"Muhammadiyah mulai memakai dasar Fajar Shadiq, dimana pada saat matahari di ketinggian 20 derajat di bawah ufuk, Fajar Shadiq belum muncul. Fajar Shadiq baru muncul 8 menit kemudian. Secara dalil tidak ada perubahan.
Muhammadiyah, NU, Pemerintah, Persis dan lain-lainnya memakai dalil yang sama," kata Dekan Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah (UM) Sumatera Barat (Sumbar) yang juga Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumbar, Dr.Firdaus,M.H.I, dalam acara seminar nasional di Convention Hall Universitas Muhammadiyah (UM) Sumbar, Kamis (30/12).
Firdaus yang didaulat menjadi narasumber, juga atas kapasitas yang malang melintang di lembaga tarjih Muhammadiyah Sumbar. Muhammadiyah sendiri merespon positif terhadap adanya protes umat Islam dari negara Muslim lainnya, yang mengeluhkan waktu Subuh di Indonesia yang datang terlalu cepat atau sangat pagi sekali.
"Adapun fajar Shadiq adalah cahaya yang berasal dari matahari yang memancar di bumi," tambahnya.
Dalam penentuan awal masuk waktu Subuh ini, Muhammadiyah juga merujuk hasil penelitian dari peneliti resmi dari luar Muhammadiyah yang dipakai oleh PP Muhammadiyah, antara lain Dhani Herdiwijaya dari ITB, beliau mengumpulkan dari semua penelitian di Indonesia dari tahun 2011 sampai 2020, kemudian datanya dianalisa.
Data berikutnya dari Sugeng Riyadi dari Assalam. Beliau membuat rata-rata dari data dan menemukan angka -17,54 derajat, mendekati -18 derajat. Bahrul Ulum, peneliti mandiri dari PD Muhammadiyah Pasuruan berhasil memotret fajar di Gunung Bromo pada tanggal 23 Juni 2020.
Pada ketinggian -20 derajat belum terlihat cahaya. Pada ketinggian -19 derajatpun belum muncul. Fajar baru muncul pada ketinggian -18°01 derajat. Ketika ketinggian -17 derajat fajar sudah memanjang di ufuk. Dan pada saat -14 derajat sudah terang benderang.
Sementara data-data dari ulama dahulu, seperti Jabir al Bantani tahun 929, menemukan fajar pada -18 derajat. Kussyar al Jily tahun 961, menemukan fajar pada -18 derajat. Abdurrahman Ash-shufi tahun 986 menemukan fajar pada -18 derajat.
Az Zarqali tahun 1100 menemukan fajar pada -18 derajat. Nashirudin al Thusi tahun 1273 menemukan fajar pada -18 derajat, dan Mu’ayyid ad-Din al Urdhy tahun 1266 menemukan fajar pada -18 derajat° sampai -19 derajat.
"Kesimpulannya banyak sekali yang menemukan fajar pada -18 derajat," ungkapnya.
Sementara Ketua Panitia, Metsra Wirman, mengatakan pihaknya akan giat mensosialisasikan jadwal shalat baru Muhammadiyah ini ke masjid-masjid dan mushalla-mushalla. Pihaknya juga akan melakukan banyak dialog dan diskusi di masa datang dengan ormas-ormas Islam atau pihak terkait lainnya.
"Bagi yang pernah haji dan umrah, pelambatan waktu Subuh ini jelas tidaklah mengherankan. Soalnya, di Masjid Nabawi ataupun di Masjidil Haram, shalat baru dimulai setelah 30 menit selesai azan. Kalau Subuh, kadang sudah agak terang jadinya," katanya.
Ia berharap, di masa datang terjadi penyeragaman, dengan ikutnya Kemenag RI yang mengeluarkan jadwal shalat secara umum. Muhammadiyah tentu akan menjadi yang terdepan dalam mempraktekkannya. (hn)