Alirman Sori |
JAKARTA, SWAPENA -- Anggota DPD RI, Alirman Sori menilai pengaturan ambang batas 20 persen Presidential Threshold adalah bentuk pembajakan demokrasi yang inkonstitusional. Selain pembajakan demokrasi, juga bentuk kejahatan politik yang dilakukan secara berencana dan sistemik oleh segerombolan elit yang ingin berkuasa dengan cara yang tidak demokratis.
Menurut dia, Presidential Threshold, selain mencedrai demokrasi tetapi juga membatasi hak konstitusional warga negara yang memiliki potensi untuk ikut bertarung menjadi calon pimpinan nasional. Sejatinya republik ini tidak kekurangan calon pemimpin, tetapi kemunculannya dikebiri oleh aturan main yang tidak adil dan tidak demokratis.
Dikatakan, Alirman Sori, partai politik sebagai pilar demokrasi semestinya tidak boleh dibatsasi haknya dalam merekrut calon pemimpin nasional. Parpol sebagai saluran demokrasi semestinya diberi ruang yang besar untuk melahirkan calon pemimpin nasional.
"Parpol yang telah dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu harus diberi hak mengajukan pasangan calon presiden/wakil presiden. Biarkan rakyat yang memilih, jangan dipaksakan hak politik rakyat untuk memilih dua pasangan, tanpa ada alternatif pilihan lain," kata Senator asal Sumatera Barat ini.
Menurut dia, praktik demokrasi oligarki elit yang sudah berlangsung dua periode pemilu 2014-2019 dan 2019-2024, harus diakhiri dan jangan diulangi lagi pada pemilu 2024. "Hal ini berpotensi besar terjadi pembelahan dan dapat bertransformasi terjadinya kegaduhan politik dan demokrasi," tegas Alirman Sori.
Alirman Sori, sangat memahami bahwa politik itu kompromi, tetapi melakukan pembatasan terhadap hak-hak politik warga negara, dengan cara membajak melalui undang-undang, tidaklah elok dan bertentangan dengan konstitusi. Itu sama saja membonsai kedaulatan rakyat sebagai pemilik demokrasi yang berlandasan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
Menurut dia, penetapan 20 persen Presidential Threshold lebih banyak mudarat politiknya. Ambang batas pencalonan presiden menciptakan polarisasi politik di masyarakat, karena minimnya jumlah calon, dan dibuktikan dua kali pilpres, hanya ada dua pasang calon yang berlaga di panggung politik secara head to head. Akibatnya terjadi pembelahan yang sangat luar biasa bahkan sampaikan sekarang masih berlansung di masyarakat, walaupun para elit sudah bersatu bermesraan.
Untuk tidak terjadi pembelahan politik pada pemilihan presiden 2024 menghindari head to head, semestinya menjadi pelajaran berharga untuk tidak diulangi. "Sudah saatnya kita bangkit bersama membangun kesadaran politik secara kolektif dalam upaya meningkatkan kualitas demokrasi yang berkeadilan dan bermatabat. Jangan lakukan persekusi politik," pinta Alirman Sori. (rel)