KINCIA atau kincir air adalah alat penumbuk padi di zaman lampau. Hampir tiap nagari di Minangkabau pada masa itu ada sarana yang satu ini.
Kincia terbuat dari kayu. Ia digerakkan dengan tenaga air. Bahkan roda besar sebagai sentral penggeraknya juga terbuat dari kayu. Tentu saja tidak sembarang kayu saja bahan pembuatnya. Sebab, roda besar itu senantiasa berada di dalam air. Jika kayu sembarangan tentu cepat lapuk dan hancur.
Roda besar yang ada di dalam air dihubungkan dengan sebuah sumbu besar yang juga terbuat dari kayu. Pada sambu besar tersebut terdapat tuas yang fungsinya mengangkat alu (antan). Ketika roda berputar, sumbu juga berputar mengangkat alu. Saat sampai pada ujung tuas, alu pun jatuh ke lesung berisi gabah dan begitu seterusnya sehingga mampu mengolah gabah atau padi menjadi beras.
Rata-rata sebuah kincia punya alu lebih dari 5. Artinya sebanyak alu, sebanyak itu pula lesungnya.
Kincia biasanya ramai ketika musim kemarau dan tentu saja di masa panen. Sebab, sebelum dibawa ke kincia, gabah atau padi harus dijemur terlebih dulu sampai kering.
Kini kincia sudah menjadi barang langka di Minangkabau. Keberadaannya sudah digantikan oleh heler (huller) sebagai alat penggiling padi tenaga mesin. Tak hanya heler besar dengan bangunan permanen, di berbagai daerah atau nagari sudah ada heler berjalan. Pemilik gabah cukup menunggu saja di rumah, heler atau mesin penggiling gabah datang sendiri.
Jika pun masih ada kincia yang bertahan saat ini tidak lagi untuk penumbuk padi melainkan penumbuk beras menjadi tepung. Ada juga untuk penggiling kopi tradisional.
Generasi milenial akan merasa aneh tatkala melihat kincia. Bahkan ada yang takjub, ternyata orang-orang dahulu lebih pintar menciptakan inovasi.
Selain sebagai alat penumbuk padi, kincia juga punya fungsi sosial. Di kincia bisa terjalin silaturahmi antar sesama.
Lalu, apakah ke depan kincia akan benar-benar habis tak berbekas di Minangkabau? Agaknya perlu intervensi pemerintah untuk merawat kincia yang masih ada sebagai warisan budaya, agar generasi Minang itu tidak buta sejarah. (Sawir Pribadi)