SEPERTINYA ini adalah kabar buruk bagi masyarakat Indonesia. Pemerintah akan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada barang-barang kebutuhan pokok atau sembako.
Bukan hanya wacana lepas, rencana seperti itu tertuang pada draf rancangan undang-undang (RUU) Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pada Pasal 4A disebutkan, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat dihapus dari barang yang tidak dikenai PPN. Itu artinya sembako akan dikenai PPN.
Selama ini sembako adalah barang-barang yang tidak dikenai pajak. Jika memang draf itu menjadi produk undang-undang, maka meranalah masyarakat dibuatnya. Sebab, dengan diberlakukannya PPN pada barang-barang kebutuhan pokok dimaksud akan memaksa harga bergerak naik.
Selama ini, pada suatu waktu ada kenaikan harga beberapa kebutuhan pokok, masyarakat menjerit. Apatah lagi nanti, pemerintah menerapkan pajak, tentu ceritanya lebih sadis lagi dari sekarang. Jika kenaikan harga hari ini masih bisa turun, di saat PPN diberlakukan jelas tidak akan turun-turun.
Jika pemberian PPN pada sembako dimaksudkan sebagai salah satu solusi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, rasanya adalah hal yang kurang tepat. Justru sebaliknya, pemberlakuan pajak pada sembako bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Lalu, untuk apa dibuat draf RUU semacam itu? Apakah untuk mengumpulkan uang masyarakat sebanyak-banyaknya demi membayar utang-utang pemerintah atau memang demi pertumbuhan ekonomi bangsa? Entahlah! Yang jelas rencana pengenaan pajak pada sembako adalah sesuatu yang tidak tepat, sekaligus melukai hati masyarakat. Apalagi, dalam situasi dan kondisi seperti sekarang, semua sektor kehidupan masyarakat terimbas oleh pandemi Covid-19 yang entah kapan akan berakhirnya.
Justru yang paling tepat dan bijak dilakukan pemerintah sekarang adalah mensubsidi masyarakat, terutama pada pembelian sembako. Jika ini yang dilakukan, maka itu namanya membantu masyarakat yang tengah kesulitan, bukan malah mengenakan pajak.
Oleh karenanya, pemerintah bersama wakil rakyat di parlemen perlu merenungkan lebih dalam sebelum draf itu menjadi undang-undang. Jika mau menambah pendapatan negara, ambillah dari para konglomerat, kalangan investor atau orang-orang kaya, bukan dari masyarakat yang memang telah merana. Rasanya masih ada sektor-sektor potensial untuk itu.
Sekali lagi, mari berpikir panjang sebelum memutuskan sesuatu. Jangan sedikit-sedikit, masyarakat kecil yang dikorbankan. Cukuplah penderitaan hidup yang diderita selama ini, jangan tambah lagi. Semoga saja draf RUU tersebut tidak masuk kepada hal yang urgen untuk dibahas hingga menjadi sebuah produk undang-undang. Semoga! (Sawir Pribadi)