Ilustrasi |
PADANG, Swapena - Dengan jumlah sampah yang dihasilkan mencapai 600 ton sehari, dan tanpa proses pengolahan lanjutan, Tempat Penampungan Akhir (TPA) Air Dingin di Kota Padang, Sumatera Barat diprediksi bakal penuh lima tahun lagi atau pada 2026 mendatang.
Hal itu dikatakan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Padang, Mairizon, Senin (29/3) di kantornya. "Persoalan yang urgent itu sekarang TPA Air Dingin, selain karena total volume sampah Kota Padang mencapai 600 ton sehari, TPA tersebut masih belum menerapkan proses pengolahan lanjutan," katanya.
Mairizon menyebutkan, ada tiga sistem penanganan sampah yang ada, pertama open dumping (sistem terbuka, dengan menumpuk sampah begitu saja di TPA), kemudian controlled landfill (menggunakan penutup tanah), dan ketiga sanitary landfill (menumpuk sampah di lokasi cekung, memadatkan sampah, lalu menutupnya dengan tanah).
Di Kota Padang, katanya, TPA Air Dingin masih menerapkan sistem open dumping, atau menumpuk begitu saja sampah yang sampai di TPA. Akibatnya, tanpa adanya pengolahan lanjutan, area penumpukan sampah pun semakin lama semakin berkurang.
Dengan kondisi demikian, Mairizon mengatakan, kalau dari 16 hektar luas areal penumpukan sampah yang ada di TPA Air Dingin, sekarang tinggal 3 hektar lagi yang tersisa. "Kalau demikian keadaanya, 2026 TPA Air Dingin akan penuh," tukasnya.
Menurutnya, DLH Padang pun tak bisa berbuat banyak, karena memang anggaran sangat terbatas untuk bisa menerapkan sistem pengolahan lanjutan. "Minimal untuk sebuah kota, pengolahan sampah dilakukan secara controlled landfill. Namun anggaran pemerintah tak mampu melaksanakan itu," ujarnya.
Mairizon mencontohkan, TPA Bantar Gebang yang dikelola pusat, saat ini sudah dilakukan pengolahan sampah yang didayagunakan sebagai bahan pembangkit listrik tenaga sampah. Dengan pengadaan alat seharga Rp.400 miliar, kawasan itu juga bisa membakar sampah sampai 100 ton sehari. "Alat pemusnahan sampah memang mahal. Setidaknya Kota Padang butuh 6 unit alat tersebut, namun memang hal itu masih sulit direalisasikan karena terbatasnya anggaran," katanya.
Dia juga mengatakan, ada pula sejumlah investor yang mau bekerjasama untuk proses pembakaran sampah, namun ia menilai kebanyakan investor belum satu arah dengan pemerintah. Karena sejumlah investor yang menawarkan jasa, meminta upah untuk melakukan pekerjaan tersebut.
Alhasil sampai saat ini TPA Air Dingin, katanya, masih menggunakan sistem open dumping. Mengingat keterbatasan areal, solusinya, tumpukan sampah pun terpaksa harus ditinggikan di kawasan tersebut. "Tapi tidak dengan tingkat kemiringan yang tinggi. Tetap diusahakan landai, karena khawatir terjadi longsor sampah, seperti yang pernah terjadi, yang juga memakan korban jiwa," ujarnya.
Walau demikian kondisi yang terjadi, pengurangan tumpukan sampah di TPA, menurut Mairizon, juga sedikit berkurang karena aktivitas pemulung limbah plastik dan konversi sampah organik menjadi pupuk kompos. Namun tidak banyak juga sampah organik yang mampu diolah menjadi pupuk kompos. Setidaknya, dari 60 persen sampah organik yang sampai ke TPA, hanya 10 persen yang bisa digunakan sebagai bahan pembuat pupuk.
"Untuk lebih berkembangnya komposter di TPA Air Dingin, harus jelas sistem pemilahannya. Ada alat pemisah sejak dari sumbernya. Namun pemerintah memang terkendala, karena belum mampu menyediakan alat tersebut. Sehingga sampah organik pun tak bisa dipilah secara baik," jelasnya. (wy)