KABAR kurang elok meluncur dari Mapolda Sumatera Barat kemarin. Sebanyak delapan personelnya, satu di antaranya PNS diberhentikan dengan tidak hormat. Mereka tersangkut berbagai kasus yang melanggar hukum, salah satunya terlibat narkoba.
Kita prihatin dengan pencopotan baju dinas tersebut. Betapa tidak, anggota polisi yang seharusnya menegakkan hukum sekaligus contoh teladan bagi masyarakat luas, malah ternyata tersandung hukum.
Sebenarnya pemecatan seseorang dari anggota Kepolisian bukanlah hal yang baru di negeri ini. Sejak dulu kasus-kasus polisi melanggar etik dan hukum sudah ada, dan masyarakat hanya bilang 'prihatin'. Alasannya itu tadi, polisi adalah orang-orang pilihan. Orang-orang yang seharusnya menegakkan hukum dan kebenaran, tapi malah melanggar hukum, bagaikan tongkat membawa rebah.
Perlu diketahui, semua anggota polisi di negeri ini pasti sudah mengetahui batas-batas yang harus dikerjakan dan mana pula yang tidak boleh. Sebab, mereka adalah orang-orang bersekolah, mulai dari tingkat dasar sampai ke sekolah kepolisian. Bahkan, selama dididik di sekolah khusus kepolisian jelas mereka digembleng secara ketat tentang berbagai aturan, terutama soal hukum.
Namun apa dikata, anggota polisi juga manusia. Sebagai manusia biasa, tentu mereka tidak ada yang sempurna, dan bisa salah. Akibat pengaruh-pengaruh eksternal mereka bisa saja bertindak di luar batas kesadaran dan batas pemahaman sendiri, maka terjerumuslah ke hal-hal yang membahayakan.
Terkait itu, adalah sangat bijak apabila polisi-polisi yang belum 'kena' sebaiknya belajar dari kasus demikian. Betapa perlu memakai pertimbangan akal sehat dan nurani sebelum melakukan suatu aksi atau tindakan. Jika memang hukum dan peraturan perundang-undangan berlaku melarang, jauhilah. Sebab, punya risiko tinggi bagi diri sendiri maupun keluarga dan masyarakat.
Dari segi kerugian materi, bayangkanlah berapa uang yang telah dihabiskan untuk belajar. Tak usah kita bicara dari SD atau dari pendidikan dasar hingga lulus SMA sederajat, hitung saja selama pendidikan kepolisian. Itu baru kerugian material. Lalu coba pula hitung kerugian psikologi diri sendiri dan keluarga. Mereka yang berharap punya putra/putri kebanggaan keluarga mengenakan seragam polisi, sekarang tak ada lagi. Orangtua yang dulu tersenyum melihat kegagahan anaknya, sekarang layu.
Belum lagi yang sudah punya anak dan istri, betapa kecewanya mereka. Anak-anak yang awalnya bangga punya ayah seorang polisi, kini jadi bahan ejekan kawan-kawannya.
Oleh karena itu adalah sangat tepat kiranya apabila polisi yang belum kena dengan kasus-kasus melawan hukum dan etik, sebaiknya jangan berpikir untuk melakukannya. Apapun alasannya, itu tidak elok, termasuk alasan ekonomi. Banyak hal yang bisa dilakukan guna memenuhi ketekoran ekonomi keluarga jika memang itu alasannya.
Sedangkan bagi yang pernah mencoba-coba atau tidak sengaja melanggar hukum dan etik kepolisian, maka cepatlah sadar. Tinggalkan itu dan kembali ke jati diri Kepolisian yang sebenarnya. Mudah-mudahan dengan cara itu, akan tercipta polisi yang bersih, berwibawa dan senantiasa mengayomi masyarakat. Khusus di Minangkabau, harapan kita semua polisi menjadi 'niniak mamak'. Ka pai tampek batanyo, ka pulang tampek babarito. Semoga! (Sawir Pribadi)