SETIAP daerah, nagari atau kampung ada budayanya. Setiap orang ada pengalamannya. Kadang pengalaman atau kenangan berbekas dan tak bisa dilupakan, baik pengalaman kolektif maupun personal.
Begitulah, termasuk pada setiap peringatan Maulid (hari kelahiran) Nabi Besar Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam. Selain ada sejarah Rasul, juga ada kenangan personal dan kolektif.
Adalah di era 1970-an, peringatan Maulid Nabi Muhammad merupakan momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh murid Sekolah Dasar (SD). Di hari itu, murid-murid SD dan guru laksana mengadakan sebuah pesta. Maklum saja peringatan hari kelahiran Nabi panutan seluruh umat Islam dunia.
Satu, dua atau tiga hari sebelum hari pengingatan Maulid Nabi tersebut pihak sekolah sudah mengumumkan dari kelas ke kelas, bahwa akan ada peringatan Maulid. Biasanya pengumuman itu disambut sorak gembira para pelajar. Bahkan ada yang melonjak kegirangan. Horeeee!
Kenapa? Karena di hari Maulid itu semua murid membawa nasi ke sekolah untuk makan bersama. Proses belajar mengajar ditiadakan.
Persiapan untuk membawa nasi ke sekolah itu pun butuh perjuangan juga bagi orang tua di rumah, terutama mencari lauk atau sambalnya. Lauk yang paling praktis adakah telor rebus kemudian ditaburi cabe goreng yang istilah sekarang dinamakan telor balado. Telor rebus itu ada yang bulan saja dan ada pula yang dibelah dua.
Maka beruntunglah keluarga yang memelihara itik atau ayam, tinggal mengambil telor di kandang. Sebaliknya yang tidak punya harus beli ke lapau.
Perjuangan lainnya bagi sang ibu adalah mengambil daun pisang, dipanaskan dulu pada tungku kayu agar gampang membungkus nasi. Ya, kebanyakan memang membawa nasi ke sekolah dibungkus dengan daun pisang. Bagi sebagian anak perempuan biasanya membawa nasi dengan rantang.
Di hari H, setelah mendengar ceramah Maulid dari guru agama atau buya yang didatangkan pihak sekolah, maka momen yang ditunggu itu pun tiba, yakni makan bersama. Maka dibukalah bungkus nasi. Ternyata rata-rata sambalnya telor rebus balado. Kalau pun ada yang beda membawa goreng ayam, ikan, goreng bada, goreng sapek, dadar telor, kentang atau daging dan lain sebagainya, itu sedikit sekali.
Bagi yang beda itu, biasanya ada sistem barter atau tukar sambal. Itulah bukti kebersamaan yang dibangun sejak SD bagi generasi terdahulu.
Begitulah pendidikan di masa itu. Pendidikan umum dan agama diselaraskan. Selain itu, anak-anak juga mendapat pendidikan sosial kemasyarakatan, hidup bersama dan tolong menolong. Masih adakah hal seperti itu sekarang? (sawir pribadi)