MIRIS! Itulah kalimat pertama yang saya ucapkan ketika mendapatkan informasi peristiwa penyegelan rumah pribadi Wakil Bupati Solok, Yulfadri Nurdin yang dilakukan oleh sekelompok orang di kawasan Simpang Rumbio, Kota Solok. Konon, sejumlah orang itu adalah anggota salah satu ormas.
Benar, atau tidaknya bahwa yang melakukan 'eksekusi' terhadap rumah itu adalah sejumlah anggota ormas, yang pasti pada kejadian malam itu, di antara mereka mengenakan pakaian salah satu ormas. Lalu, muncul pertanyaan, apa hak mereka menyegel rumah orang?
"Karena utang piutang!" Begitu jawab Wakil Bupati Yulfadri Nurdin yang saya telepon malam itu. Kembali saya bertanya, apa hak mereka melakukan 'eksekusi' demikian? Bukankah penyegelan objek perkara adalah berdasarkan putusan pengadilan terlebih dahulu? Benarkah bangunan itu menjadi objek perkara? Sudahkan dilakukan proses persidangan oleh pengadilan? Kalau memang ada, kenapa dilakukan penyegelan pada malam atau dini hari oleh sejumlah orang, tanpa juru sita?
Banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk dalam kepala saya ketika itu. Termasuk, pertanyaan benarkah pasangan Gusmal dan Yulfadri Nurdin selaku calon bupati dan wakil bupati pada Pilkada 2015 lalu berutang ketika itu? Berutang, ataukah dimodali?
Pertanyaan berikut, kenapa kini tiba-tiba saja sejumlah orang datang ke rumah itu dengan membawa papan merek sebagai tanda rumah dimaksud disegel? Apakah ini tidak ada kaitan dengan Pilkada 2020?
Bukankah awalnya Yulfadri Nurdin begitu mesra dengan Epyardi Asda. Lalu, mereka berdua berpisah dan kemudian maju dengan jalan dan kendaraan serta pasangan berbeda.
Entahlah! Semua hanya tanda tanya yang suatu waktu akan ditemukan jawabannya oleh masyarakat, terutama warga Kabupaten Solok. Yang pasti, selaku putra Kabupaten Solok, saya merasa miris dengan peristiwa itu. Lebih miris lagi, karena yang dijadikan objek pada masalah ini adalah rumah pribadi sang wakil bupati yang dulunya dipilih bersama-sama oleh masyarakat Kabupaten Solok.
Kabar terbaru, para penyegel rumah itu konon sudah dijadikan tersangka oleh aparat kepolisian. Ini wajar dan sudah sepantasnya sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa yang mereka lakukan.
Lalu, bagaimana selanjutnya? Apakah sampai pada para penyegel saja ceritanya? Entahlah! Yang pasti, menurut Yulfadri Nurdin, ia tidak kenal dengan para penyegel dan juga tidak punya utang dengan mereka. Karena itu, para penyegel bisa disebut hanya menjalankan tugas, jika tidak mau disebut sebagai menjalankan perintah. Lalu, siapa yang memberi tugas?
Kita yakin, aparat kepolisian sebagai penyidik kasus ini sudah punya peta dan tentu akan mengusut hingga tuntas. Namun demikian, tidak ada salahnya masyarakat berharap kasus itu dituntaskan dengan adil. Nan luruih makanan banang, nan bengkok makanan saruang. Siapa berbuat, ialah yang bertanggung jawab.
Semoga saja, tidak ada lagi kasus-kasus seperti ini terjadi di Kabupaten Solok dan Sumatera Barat. Kalau ada masalah, mari selesaikan dengan bijak. Jika tidak selesai secara kekeluargaan, ada jalurnya sesuai aturan dan hukum berlaku. Yang terpenting jangan menjadi hakim sendiri.
Yang jelas, utang harus dibayia, paranduak ditarimo. (Sawir Pribadi)