"SEMOGA Sumatera Barat menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila." Begitu satu kalimat yang dilontarkan Ketua DPP PDI Perjuangan, Puan Maharani ketika mengumumkan calon gubernur Sumbar, tempo hari.
Kontan saja kalimat itu mengundang reaksi dari masyarakat Sumatera Barat. Maka tidaklah mengherankan, sejak kemarin banyak komentar dan pendapat yang dikemukakan masyarakat Sumbar mulai dari lapau, di media sosial hingga diskusi di grup-grup percakapan. Tidak saja masyarakat yang bermukim di ranah Minang, tetapi juga yang berada di perantauan.
Namanya saja ota lapau atau juga media sosial, kadang tak terkontrol dan cenderung emosional. Namun banyak pula yang menyikapinya secara intelek. Semuanya bisa dimaklumi.
Walau pengurus DPP PDI Perjuangan melalui Sekjennya Hasto Kristiyanto telah memberikan klarifikasi hingga memuji-muji masakan Minang yang tak ada kaitannya dengan ucapan Puan Maharani tersebut, namun tak mangkus untuk meredakan ketersinggungan masyarakat Sumbar.
Ya, masyarakat Sumbar tersinggung dan itu logis. Sebab, sejarah bangsa ini tidak bisa disembunyikan bahwa yang menyusun Pancasila yang ada sekarang adalah Panitia 9. Dalam Panitia 9 itu, tiga orang di antaranya adalah orang Minang atau Sumbar. Ketiganya adalah Mohammad Hatta, Mohammad Yamin dan H. Agus Salim. Lalu sekarang ada yang mengatakan seolah-olah masyarakat Sumbar tidak mendukung Pancasila.
Yang bicara begitu tidak hanya sebatas pengurus partai politik, tetapi juga Ketua DPR-RI dan cucu dari tokoh Proklamator Bung Karno. Bukankah Bung Karno dan Bung Hatta adalah Dwi Tunggal? Bukankah Bung Hatta adalah orang Minang? Jangan-jangan Puan memang lupa atau sekadar keseleo lidah saja.
Lupa atau keseleo lidah, yang pasti masyarakat Sumbar atau Minangkabau merasa prihatin, kaget dan juga tersinggung dengan ucapan demikian. Sebab, apa yang diucapkan itu mengiaskan orang Sumbar belum atau bahkan tidak mendukung Pancasila.
Masyarakat tersinggung ataupun marah, juga boleh-boleh saja, asal tidak lepas dari koridor hukum. Sebaliknya masyarakat Sumbar ataupun orang Minang penting menyikapinya dengan mengedepankan sikap intelektual. Sebab, sejarah telah membuktikan bahwa Minangkabau atau Provinsi Sumatera Barat adalah gudang para intelektual.
Alangkah bijaknya jika persoalan itu disikapi dengan meminta pihak bersangkutan untuk menjelaskan secara gamblang maksud dari kalimat tersebut. Jika memang keseleo ataupun salah, akui saja.
Ingat, pengakuan yang sportif, lantas minta maaf akan menaikkan nilai Puan selaku tokoh nasional harapan bangsa. Sebaliknya, jika alasan yang dicari-cari atau berkelit, justru akan menimbulkan sikap antipati dari masyarakat Sumbar.
Makanya alangkah lebih baik dan bijak para intelektual Sumbar yang ada di parlemen baik di DPR maupun DPD untuk meminta klarifikasi kepada Puan. Dengan demikian, tanggapan-tanggapan liar melalui media sosial bisa dibendung dan dihentikan. Ingat, falsafah Minang mengajarkan kita semua bahwa tak ada karuah nan indak tajaniahan dan kusuik nan indak tasalasaian.
Mudah-mudahan para wakil rakyat Sumbar juga bersikap dengan proaktif meminta penjelasan kepada sumber kalimat itu. Dengan demikian semua bisa kelar. Semoga! (Sawir Pribadi)