Alirman Sori. |
JAKARTA - Anggota DPD RI, Alirman Sori menyampaikan rasa keprihatinan dengan istilah “Indonesia Berduka, Negara Hukum Mati Suri” atas pengesahan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang bakal menyiksakan duka yang mendalam.
Indonesia yang notabene Negara Hukum, pasca pengesahan Perppu menjadi undang-undang mengalami mati suri dalam konteks negara hukum, dan apabila sadar dari mati suri berpotensi bertransformasi menjadi negara kekuasaan.
Teriakan keras netizen tidak salah. Mengesahkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi undang-undang untuk penanganan Covid-19, wakil rakyat yang bermakas di Senayan dengan sadar mengamputasi dirinya sendiri secara ikhlas.
Kelahiran Perppu yang bertransformasi menjadi undang-undang tiga fungsi utama wakil rakyat sebagai lembaga negara dipangkas secara sistemik, fungsi legilasi, anggaran, dan pengawasan. Bukan hanya mengamputasi fungsi wakil rakyat (DPR dan DPD), tetapi juga mengamputasi fungsi pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), fungsi lembaga penegak hukum, dan kekuasaan kehakiman yang dimiliki Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) juga ikut dipangkas.
Pengamputasian fungsi Lembaga negara seperti DPR, DPD, BPK dan kekuasaan kehakiman MA dan MK bukan tidak beralasan, karena Perppu ini memiliki imunitas yang boleh dikatakan unlimited. Para pejabat negara yang ditugasi atas nama negara dapat bebas menentukan anggaran dan menggunakannya sesuka hati, tanpa persetujuan dan pengawasan. Mereka juga tidak perlu khawatir terhadap konsekuensi hukum secara pidana, perdata, maupun tata negara. Bisa bebas merdeka. 9 fraksi DPR, hanya PKS yang konsisten menolak Perppu.
"Bila kita membaca Undang-Undang Dasar Tahun 1945, pasal 23 UUD ayat 1, 2 dan 3 dinyatakan APBN dibahas setiap tahun dan harus mendapat persetujuan DPR dan pertimbangan DPD. Apabila tidak disetujui maka Presiden menggunakan anggaran tahun sebelumnya," kata Alirman.
Sebutan popular Perppu yang sudah menjadi UU, pada Pasal 12 ayat 2, APBN cukup diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres), bahkan pemerintah diberi kekuasaan menyusunnya selama 3 tahun ke depan. "Hal ini juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat 2 dan 3 UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara," lanjut dia.
Selain mereduksi kewenangan DPR, UU ini berpotensi melanggar UUD NRI Tahun 1945 terkait pengawasan dan imunitas pengambil kebijakan. Pasal 27 ayat 1 menyatakan bahwa biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) seperti kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Dengan pasal ini fungsi dan peran BPK sebagai badan pengawas keuangan negara dianulir.
Kemudian pasal 27 ayat 2, mengatur anggota KSSK tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada Pasal 27 ayat 3 juga menyatakan segala tindakan termasuk keputusan yang diambil bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Pasal ini merobohkan dan bertentangan dengan prinsip supremasi hukum dan prinsip negara hukum.
UUD 1945 pasca perubahan, telah menjamin tegaknya prinsip-prinsip supremasi hukum. Pasal 1 ayat 3
UUD 1945 dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dan adanya pengakuan yang sama di hadapan hukum Pasal 28D. "Sungguh luar biasa kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah. Mereka bebas mengatur keuangan negara tanpa kontrol lembaga lain seperti DPR, DPD dan BPK. Mirisnya mereka sulit disentuh oleh hukum, karena diberi kewenangan UU mengesampingkan peran lembaga kekuasaan lembaga penegak hukum dan kekuasaan kehakiman. Eksistensi Indonesia sebagai negara demokrasi juga terancam mati," ujar Senator asal Sumatera Barat ini. (rls)