Sawir Pribadi. |
WABAH virus Corona Covid-19 telah merusak segalanya. Kehidupan yang semula berjalan normal tiba-tiba dibuat kacau olehnya.
Yang sehat berubah jadi sakit tiba-tiba. Yang sakit sebagian meninggal dunia. Inilah keganasan virus yang awalnya ditemukan di Wuhan, China.
Para pegawai dan karyawan swasta yang semula berinteraksi, bisa begurau atau bercanda ramai-ramai di kantor dan tempat kerja terpaksa bekerja dari rumah. Orang asing menyebutnya work from home. Para pelajar dan mahasiswa pun dialihkan proses belajarnya ke rumah masing-masing.
Dialihkan tentu tidak sama dengan libur atau diliburkan. Anak sekolah mulai dari pendidikan usia dini sampai siswa sekolah lanjutan atas yang selama ini belajar dengan pola tatap muka bersama guru di ruangan kelas, terpaksa dipindahkan ke rumah. Bisa juga disebut sebagai belajar jarak jauh. Setidaknya ada tugas-tugas yang diberikan guru secara saring atau online.
Artinya, semua mata pelajaran musti diselesaikan dengan jarak jauh. Jam-jam pelajaran sebagaimana layaknya ketika di ruangan kelas bisa saja sama. Misalnya jam pertama mata pelajaran A, maka guru dari jauh memberikan materi tersebut. Jam berikutnya ganti dengan mata pelajaran B, C dan seterusnya. Atau minimal guru-guru memberikan tugas tertentu.
Dalam hal ini, peserta didik tentu musti duduk di belakang meja. Setidaknya mengikuti pelajaran di rumah melalui komputer, komputer jinjing atau telepon genggam pintar (smartphone/android dan sejenisnya).
Itulah makna keputusan pemerintah, baik yang dikeluarkan pemerintah pusat ataupun kabupaten/kota. Para pelajar dan mahasiswa di rumahkan, untuk melanjutkan proses belajar, bukan untuk berlibur. Sebab, di antara mereka akan mengikuti ujian nasional (UN) dalam waktu dekat.
Lalu, apakah ini sudah dilakukan? Banyak yang keliru memaknai keputusan pemerintah tersebut. Menganggap di rumahkan sama dengan diliburkan. Akibatnya, banyak pelajar dan mahasiswa yang pulang kampung atau bahkan keluyuran ke objek wisata dan lain sebagainya.
Jika yang pulang kampung, lantas melanjutkan belajar dari sana tentu sangat bagus. Tapi yang bermain-main, duduk berkumpul di kafe-kafe dan ke objek wisata, maka ini perlu diberikan penyadaran.
Pemerintah memindahkan proses belajar dari kampus atau dari sekolah ke rumah adalah dalam rangka mengantisipasi tidak menularnya virus Corona Covid-19. Jika kenyataannya mahasiswa atau pelajar nongkrong ramai-ramai di kafe ini jelas bukan mengantisipasi penularan, malah sebaliknya bisa menjadi perantara penularan virus berbahaya tersebut.
Ingat, yang wajib saja sudah dibatasi, semisal shalat ke masjid hingga Shalat Jumat, semua untuk memutus rantai penyebaran atau setidaknya mengantisipasi tidak ada yang tertular, kok malah yang disuruh belajar di rumah menganggap sebagai liburan ekstra?
Terhadap hal seperti ini, perlu langkah berikutnya dari pemerintah misalnya menutup semua objek wisata dan kafe-kafe. Jika pemerintah dan MUI bisa mengatur orang-orang Muslim terkait ibadah saat negeri ini dilanda wabah virus berbahaya, kenapa juga pemerintah tak bisa mengatur untuk menutup objek wisata dan kafe serta sejenisnya? Kan cuma untuk sementara!
Selain itu saatnya pula ada petugas pengawas terhadap aktivitas para pelajar dan mahasiswa dimaksud, selain para orang tua tentunya. Mereka yang kongkow-kongkow ramai-ramai di kafe atau di objek wisata, kembalikan ke rumah masing-masing.
Terakhir, sebaiknya tak hanya pelajar dan mahasiswa yang di rumahkan, tetapi juga guru-guru dan para dosen. Sebab, mereka juga manusia yang bisa tertular dan menularkan virus. Bukankah mereka juga bekerja memberi pelajaran dari rumah? (sp)