Foto bersama nara sumber dan peserta simposium. (ist). |
PALEMBANG - Simposium Reforma Agraria yang diselenggarakan Komite Reforma Agraria Sumatera Selatan (KRASS) pada 8-10 Desember 2019 di Kota Palembang, Sumatera Selatan mengusung tema “Tanah untuk Rakyat, Telah Usai”.
Simposium ini telah melahirkan pandangan strategis dalam reforma agraria. Menurut JJ Polong selaku Ketua Steering Committee (SC) kegiatan ini tidak hanya dimaksudkan sebagai perjuangan hak atas tanah, melainkan sebagai solusi untuk banyak masalah yang lebih besar di Indonesia, serta pengakuan terhadap hak asasi petani dan orang-orang yang bekerja di pedesaan.
Reforma agraria, menurutnya, harus dikaitkan dengan hak asasi petani dan pencapaian kedaulatan pangan. Bukan untuk menciptakan pasar tanah yang bertujuan menarik investasi ke daerah pedesaan, yang justru akan menggusur ekonomi petani.
“Karena itulah, tanah harus didistribusikan untuk menghasilkan makanan bagi rakyat dan bukan produk yang akan diekspor untuk kepentingan ekonomi global, serta harus dipastikan bahwa tanah-tanah harus tetap dimiliki dan dikelola oleh keluarga petani,” tegas Polong yang juga pengurus Majelis Nasional Petani (MNP) Serikat Petani Indonesia.
Polong yang juga Dosen Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang menambahkan, perjuangan eksklusif hak atas tanah, tidak cukup untuk menjamin kesejahteraan keluarga petani. Karena itu reforma agraria harus mencakup perubahan besar dalam kebijakan pertanian di Indonesia secara keseluruhan. Seperti akses demokratis kepada input produksi (benih, pupuk, air, alsintan), pemenuhan kredit, asuransi pertanian, pendidikan, koperasi, perdagangan yang adil, serta pengakuan terhadap cara-cara bertani masyarakat yang diwariskan sebagai kearifan lokal secara turun temurun seperti pertanian selaras alam.
Simposium kali ini yang bertepatan dengan peringatan hari HAM sedunia, juga dijadikan petani di Sumatera Selatan sebagai momentum untuk mendorong Pemerintah Indonesia menjadikan Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Masyarakat yang bekerja di Pedesaan sebagai standar HAM di tingkat nasional dalam setiap kebijakan agraria di Indonesia.
Deklarasi PBB tersebut, sebut Polong, memuat antara lain hak atas kehidupan yang layak, hak atas tanah, hak atas benih, hak atas keanekaragaman hayati, serta prinsip nondiskriminasi terutama untuk petani dan perempuan pedesaan.
Selain dihadiri sekitar 150 petani dari berbagai kabupaten dan penggerak reforma agraria di Sumatera Selatan, simposium ini juga menghadirkan narasumber nasional seperti Ahmad Yakub, Eva Bande, Beathor Suryadi, Ferry Widodo, Jimmy Z. Ginting dan Yoris Sindhu Suharjan. (rl)