Ilustrasi. |
Siapakah di antara kita yang pernah menerima karcis saat diminta uang parkir oleh orang-orang yang menamakan dirinya tukang parkir di Kota Padang atau kota-kota lain di Sumatera Barat? Terutama yang parkir di pinggir jalan atau halaman rumah makan, restoran, kafe, toko, mini market, tempat praktik dokter, dan lain sebagainya. Bahkan di jalan raya depan masjid pun ada orang yang menamakan diri tukang parkir.
Mungkin tidak banyak yang menerima karcis. Atau bahkan, mungkin tidak ada sama sekali. Sebab, sepertinya hampir tidak ada tukang parkir yang memegang karcis. Atau, kalau memang ada yang dibekali karcis, mungkin mereka memilih tidak menyerahkan karcis-karcisnya itu kepada pemilik kendaraan bermotor. Tentu saja ada pertimbangan tersendiri dari mereka.
Sejauh ini, nyaris tidak terdengar pemilik kendaraan bermotor yang protes. Bahkan, anggota DPRD sekalipun tak ada yang protes, saat mereka membayar parkir di pinggir jalan atau di tempat-tempat tertentu. Setelah menyodorkan selembar uang dua ribu atau lima ribu rupiah, mereka pun berlalu.
Kenapa tidak protes? Karena dianggap uang sebanyak itu tidak seberapa. Apalah yang dapat oleh uang dua ribu rupiah atau bahkan dengan uang lima ribu saat ini. Dua ribu hanya dua buah permen. Mungkin begitu pemikiran kita, sehingga wajar-wajar saja mengasihnya tanpa menagih karcis tanda bukti membayar parkir.
Benar saja, uang dua ribu memang tidak seberapa nilainya. Jajan anak SD saja sekarang tidak ada yang dua ribu rupiah sehari. Paling sedikit lima ribu rupiah.
Meski demikian, jika dalam sehari ada yang parkir seribu kendaraan di kota ini dengan rata-rata bayarnya Rp2.000, berapa yang terkumpul? Dua juta rupiah satu hari, bukan? Sebulan menjadi Rp60 juta. Ke mana alirannya? Apakah benar ke kas pemerintah? Bayangkan jika rata-rata parkir kendaraan bermotor lebih dari seribu kendaraan, tentu uang yang mengalir juga lebih besar lagi.
Pertanyaan berikutnya, siapa tukang parkir sebenarnya? Khusus Kota Padang sejak beberapa tahun terakhir ini para tukang parkir dilengkapi dengan rompi warna orange, tapi justru banyak pula yang tidak mengenakan rompi. Lalu, bagaimana membedakan mereka? Toh kegiatan mereka sama saja, yakni memungut uang dari pemilik kendaraan bermotor.
Jika mereka bukanlah tukang parkir sesungguhnya, siapa mereka? Kenapa dibiarkan? Apakah itu bukan pungli namanya?
Bagaimana pun pungli tidak dibolehkan. Walau nominalnya kecil, tapi jika dibiarkan lama-lama akan besar juga. Apalagi, jika jumlah kendaraan yang parkir sudah mencapai ratusan atau ribuan sehari, maka nominal pungutan menjadi jutaan rupiah sehari atau puluhan juta sebulan.
Apabila memang itu pungli, kenapa terkesan dibiarkan? Kemana Satpol PP dan aparat keamanan lainnya? Atau jangan-jangan negeri ini tidak lagi punya dubalang, sehingga berlaku undang-undang sigaragai dan hukum rimba saja? Siapa bagak dia yang berkuasa. Jangan!
Rasanya ini adalah persoalan yang sudah lama. Ibarat penyakit, sudah kronis, makanya terkesan dibiarkan saja. Pola pikirnya kembali ke nominal pungutan ; cuma dua ribu rupiah!
Sekarang, apakah akan terus dibiarkan? Tidakkah ada rencana dan upaya untuk mengubah hal-hal demikian? Terlalu naif jika itu dibiarkan oleh pemerintah kota. Makanya diperlukan inovasi dari seorang pemimpin, bukan membiarkan hal-hal remeh temeh demikian berlarut dari tahun ke tahun. (sawir pribadi)