Sawir Pribadi
Jam telah menunjukkan pukul 22.00, selepas menikmati nasi goreng petai di kawasan Alang Laweh, Padang roda Toyota Kijang Reborn beranjak perlahan menuju arah selatan. Kota Padang masih saja ramai, Jumat (8/3) malam itu. Gerimis ikut melepas keberangkatan kami.
Kilometer demi kilometer roda mobil berputar membelah malam. Dingin mulai menyelinap dari kaca mobil yang memang sengaja tidak ditutup rapat, biar bisa menikmati udara malam itu.
Mobil terus berlari ke arah selatan. Jalanan Padang-Painan dan sebaliknya masih ramai. Selain kendaraan roda empat, banyak pula yang menggunakan sepeda motor. Kadang diselingi oleh truk-truk pengangkut minyak sawit.
Sekitar pukul 00:00, mobil memasuki Painan, pusat pemerintahan Kabupaten Pesisir Selatan. Agar stamina terjaga, maka minuman jahe panas sengaja dipesan pada salah satu warung di kawasan Sago, Painan.
Melepas penat sambil berfoto ria dengan latar belakang jalan rusak digerus ombak |
Tidak lama, mobil keluaran 2018 itu kembali menggasing ke arah selatan. Kehidupan malam masih terlihat di sepanjang jalan. Masih banyak warung dan mini market yang buka. Jalan mulus, dan tak ada lagi istirahat hingga sampai di Tapan sekitar pukul 03:00 dini hari Sabtu (9/3). Di daerah ini istirahat sekitar 10 menit untuk membeli berbagai kebutuhan selama perjalanan. Sebab, tujuan masih jauh, yakni Kota Bengkulu. Ternyata banyak kedai dan mini market di Tapan yang beroperasi 24 jam. "Kita buka sampai pagi, Pak," ujar pemilik kedai tempat kami berbelanja tersebut.
Mobil kembali bergerak. Suasana jalan mulai berbeda. Lobang besar dan kecil terdapat di sejumlah ruas jalan. Penumpang diguncang bagaikan di atas kapal, sesekali terlonjak dan terhenyak. Kondisi parah itu terasa sekali di wilayah Lunang Silaut hingga memasuki Provinsi Bengkulu.
Selepas Lunang Silaut, memasuki batas Provinsi Bengkulu tersebut, suasan mencekam mulai terasa. Jalan yang gelap tanpa penerangan, di kiri dan kanan jalan penuh dengan kebun sawit. Tak terlihat ada rumah orang. Bahkan tidak ada satu pun kendaraan yang berpapasan.
Andaikan ban kendaraan bocor atau mesin ngadat di kawasan itu, barangkali ditampung saja buang air kecil di atas mobil. Begitu benarlah mencekamnya suasana di malam itu.
Maklum saja, semua yang ada di atas mobil, baru sekali itu menempuh jalur tersebut. Semuanya berharap, tidak ada kendala pada kendaraan.
Agak terasa lega, ketika memasuki Mukomuko. Lampu-lampu jalan mulai terlihat. Semua berharap bertemu dengan SPBU. Tidak saja untuk menambah bahan bakar mobil, tapi untuk menyalurkan hasrat buang air yang sudah ditahan sejak dari Painan. Bahkan, ada yang dari Padang lagi. Bayangkanlah itu!
Benar saja, sebuah SPBU pun bertemu menjalang pusat kota Mukomuko. Hanya saja SPBU itu terlihat seperti tutup. Untung saja ada satu petugas yang tengah tertidur sambil duduk pada sebuah meja kecil. Saat terbangun, sang petugas pun terlihat bengong. Maklum, dini hari, bisa macam-macam yang terlintas dalam pikirannya.
Selepas mengisi BBM dan buang air kecil, kendaraan sudah bisa berlari kencang hingga di atas 100 Km/jam. Kiri kanan jalan sudah ada bangunan masyarakat pada beberapa kawasan, namun kebun sawit tidak pula putus-putus. Sepenat-penat di atas mobil, sampailah di Ipuh. Azan subuh menyambut, dan semuanya menunaikan Shalat Subuh di Masjid Darussalam Jaya, Ipuh. Kenikmatan Shalat Subuh di masjid yang cukup megah itu dilengkapi dengan minum kopi yang memang disediakan pengurus untuk jemaah.
Menyeduh kopi seusai Shalat Subuh di Masjid Darussalam Ipuh |
Setelah maota sebentar dengan pengurus masjid dan sejumlah jemaah, mobil kembali membelah Lintas Barat Sumatera tersebut. Suasana lengang masih saja terasa. Tidak ada kendaraan yang berpapasan. Walau sudah agak terang, namun suasana mencekam tetap terasa. Apalagi kiri dan kanan jalan dipenuhi kebun karet. Kata orang-orang saisuak, di kebun karet banyak harimau.
Barulah sekitar pukul enam baru menjumpai kendaraan bermotor satu-satu di wilayah Bengkulu Utara. Diperkirakan, mereka adalah pekerja kebun yang menggunakan sepeda motor tanpa plat nomor. Juga dijumpai kendaraan pick-up dari arah berlawanan.
Jalan masih mulus. Sepertinya jalan tersebut baru saja diperlebar pinggir kiri dan kanannya dengan beton. Kendaraan meliuk-liuk sendiri di jalanan demikian.
Keadaan jalan kembali berubah ketika memasuki daerah Ketahun, Bengkulu Utara. Banyak jalan yang kondisinya memprihatinkan. Berlobang di sana sini. Bahkan, ada ruas jalan tergerus oleh abrasi pantai. Tak hanya itu, ada ruas jalan yang kanan dan kirinya dipenuhi semak belukar.
"Untung saja tidak kenapa-napa kita sepanjang perjalanan," kata Eriandi, sang redaktur surat kabar ini.
"Ya, untung tidak kenapa-napa, kecuali mabok ndak Bang," potong Rahmat Zikri, sang fotografer yang juga ikut dalam perjalanan itu.
Setelah sekitar 13 jam berjalanan dari Padang, akhirnya sampai juga di Kota Bengkulu. Yang dicari pertama sekali adalah SPBU yang punya kamar mandi. Semuanya mau mandi, karena akan berhadapan dengan sepasang penganten baru.
"Pulangnya nanti jangan lewat itu lagi, Bang. Ngeri wak mah!" kata Sekretaris Redaksi Putri Juita. (*)