JAKARTA, SWAPENA -- PT PLN (Persero) memastikan siap menjalankan transisi energi. Langkah tersebut dilakukan dengan terus menjaga keberlangsungan usahanya di tengah pelaksanaan transisi energi, juga menyiapkan _sustainability center_ untuk meningkatkan kapabilitas perusahaan.
Manajer Pengelolaan Perubahan Iklim PLN Kamia Handayani mengatakan, PLN berupaya menangkap peluang dari pelaksanaan transisi energi, sehingga dapat menjaga keberlangsungan usahanya.
"Dengan program konversi ke kompor induksi, _electric vehicle_ dimana PLN menyiapkan SPKLU, ada juga layanan sertifikat energi terbarukan, serta layanan _carbon credit_ untuk _offset_ jejak emisi. PLN juga ikut berpartisipasi dalam skema perdagangan emisi," kata Kamia, dalam diskusi "Presidensi G20: EBT Indonesia Menuju Net Zero Emission 2060" yang diselenggarakan secara daring, Senin (22/11).
Strategi transformasi energi juga telah disiapkan PLN, sesuai dengan visi perusahaan, untuk menjadi perusahaan listrik terkemuka se-Asia Tenggara dan pilihan pertama pelanggan untuk solusi energi.
Menurut Srikandi PLN ini, perusahaannya harus meningkatkan kapabilitasnya terkait dengan transisi energi. Salah satunya dengan menyiapkan _sustainability center_ yang terdiri dari _renewable energy academy_, _HSSE academy_ dan juga _center of excellence_.
"PLN juga memiliki _transformation office_, yang akan mengawal progres pencapaian aspirasi _carbon neutral_ PLN secara keseluruhan," ujarnya.
Terkait dengan komitmen pemerintah untuk mencapai _Nationally Determined Contribution_ (NDC) di tahun 2030 dan _net zero emission_ di tahun 2060, PLN telah menerbitkan RUPTL 2021-2030 yang sudah disahkan pemerintah, dan untuk jangka panjang sudah memiliki peta jalan menuju _net zero emission_ 2060.
Dalam RUPTL tersebut, akan ada penambahan pembangkit baru sebesar 40,6 gigawatt (GW) selama 10 tahun dengan porsi EBT mencapai 20,9 GW atau sekitar 51,6 persen. Kemudian PLN juga akan pensiunkan PLTU dengan total kapasitas 1,1 GW sehingga kapasitas pembangkit PLN pada 2030 menjadi 99,2 GW.
"Pada RUPTL Hijau ini tercantum inisiatif PLN untuk mencapai target NDC pemerintah di tahun 2030, seperti _biomass co-firing_ dan Konversi PLTD ke EBT," ucap Kamia.
Sementara itu, untuk jangka panjang PLN akan terus melakukan pembangunan EBT yang dikombinasikan dengan _energy storage_, dan juga interkoneksi. Langkah ini tentunya dibarengi dengan rencana memensiunkan PLTU secara bertahap.
Tidak hanya itu saja, PLN juga tengah mempertimbangkan penggunaan teknologi _Carbon Capture and Storage_ (CCS) mulai 2040 jika harga teknologi tersebut sudah lebih terjangkau. Dengan adanya CCS, diharapkan PLTU yang masih memiliki nilai ekonomi masih dapat dimanfaatkan.
Di sisi lain, Sekretaris Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM RI Sahid Junaidi mengemukakan, secara umum upaya pemerintah menuju karbon netral berdasarkan 5 prinsip utama. Kelima prinsip tersebut meliputi peningkatan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), pengurangan energi berbasis fosil, peningkatan pemanfaatan kendaraan listrik di sektor transportasi, peningkatan pemanfaatan peralatan listrik untuk sektor rumah tangga dan industri, dan terakhir pemanfaatan teknologi bersih seperti CCS.
"Kami telah mengembangkan sebuah peta jalan, yang menjabarkan upaya-upaya yang diperlukan untuk mengembangkan EBT, pengurangan bahan bakar fosil dan penerapan teknologi bersih untuk mencapai karbon netral pada 2060 atau lebih cepat melalui bantuan internasional," papar Sahid.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) Chairani Rachmatullah mengingatkan, hal mendasar yang perlu disiapkan adalah model bisnis yang tepat untuk menjaga keberlanjutan PLN sebagai penyelenggara layanan kelistrikan Indonesia.
"PLN perlu melakukan modernisasi sistem penyaluran dan distribusinya. Karena semakin banyak pembangkit _Variable Renewable Energy_ (VRE) beroperasi, maka PLN perlu mengadopsi digitalisasi dan _improvement_ untuk sistem transmisi dan distribusi," katanya.
Menurutnya, RUPTL Hijau yang baru saja disahkan oleh pemerintah baru berbicara mengenai neraca daya yang dipasok oleh pembangkit EBT nantinya. Sementara masalah yang krusial adalah teknologi yang ekonomis.
"Banyak teknologi EBT, tetapi kita perlu memilih teknologi yang ekonomis. Karena kita ingin menjaga _sustainability_ perusahaan ini sendiri agar dapat PLN terus berlanjut," imbuh Chairani.
Di samping itu, PLN juga harus mempersiapkan sistem keuangan secara baik agar rencana teknis di RUPTL 2021-2030 dapat tereksekusi tepat waktu.
"Dari 64 GW kapasitas listrik nasional, hampir 73 persennya dikelola oleh PLN. Maka penting sekali menjaga keandalan layanan kelistrikan," tutupnya. (rel)