Alirman Sori |
JAKARTA - Suasana 'gaduh' menyelimuti Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menjelang pengambilan sumpah dan janji anggota DPD RI periode 2019-2024. Persoalan mendasar yang memicu kegaduhan terkait tata tertib pemilihan pimpinan DPD.
Sejumlah anggota incumbent yang terpilih kembali memprotes hasil kerja tim kerja tatib yang dinilai
cacat formil, karena tidak malalui tata cara dan mekanisme aturan yang berlaku. Perseteruan ini telah terasa sejak terjadinya pemangkasan masa jabatan pimpinan DPD periode 2014-2019 lalu dari lima tahun menjadi dua setengah tahun, sehingga terbentuk dua kubu pendukung.
Perseteruan dua kelompok itu semakin memanas dan berlanjut untuk pemilihan pimpinan periode 2019-2024. Persaingan semakin meruncing ditandai dengan ada aksi penolakan pemberlakuan tatib baru oleh kelompok yang merasa calon mereka dirugikan atas tatib yang baru.
Diprediksi, pada 1 oktober 2019 besok, memasuki pemilihan pimpinan DPD RI, suasana sidang paripurna DPD RI bakal ramai terhadap aksi penolakan tatib yang kelahiranya diduga cacat formil dan tidak prosedural. Bahkan, aksi yang lebih parah adalah adanya calon oknum pimpinan DPD RI melakukan intervensi untuk mendapatkan dukungan.
Anggota DPD RI terpilih asal Sumatera Barat, Alirman Sori ketika dimintai penjelasannya tadi siang, perihal kondisi terkini menjelang pemilihan pimpinan DPD RI, mengakui dinamika pemilihan pimpinan DPD RI, menghangat, terutama adanya aksi menolak pemberlakuan tatib baru yang diduga kontroversial, cacat formil dan prosedural.
Menurut dia, persoalan tatib menghangat, karena adanya pasal tertentu di dalam tatib dinilai mendegradasi hak politik seseorang maju sebagai calon pimpinan DPD RI, misalnya tidak pernah
mendapat saksi pelanggaran tatib, pelanggaran kode etik dan tidak bersatatus sebagai tersangka.
"Sementara mereka terpilih sebagai anggota DPD, secara aturan berhak memilih dan dipilih menduduki jabatan tertentu," ujar Alirman Sori.
Memanasnya suasana politik menjelang pemilihan pimpinan DPD RI, menurut Alirman Sori, adalah hal yang biasa. "Memang politik itu pergerakannya lebih cepat dibandingkan kecepatan pesawat tempur, jenis minyaknya berkelas avtur, jadi pembakaran cepat sekali," kata Also panggilan akrabnya.
Tetapi secepat apapun kecepatan politik bergerak, tidak boleh melanggar aturan. "Ibarat teori sumbu, sekencang apapun bergeraknya sebuah motor, jari-jarinya tetap berada pada sumbunya," lanjut Also.
Ketika ditanya tentang adanya calon pimpinan DPD RI yang mengancam untuk mendukung, Alirman Sori, kaget. "Kalau itu benar adanya mesti dilawan. Tidak ada haknya untuk mengacam hak konstitusional seseorang mendukung atau tidak mendukung. Kapan perlu laporkan," katanya.
Jika dirinya mengalami itu, Alirman memastikan melawan, sekaligus mengkampanyekan untuk tidak
memilih anggota demikian. "Baru dalam kapasitas bakal calon sudah ancam, apalagi sudah jadi pimpinan, bahaya, bisa berantakan," ujar dia.
Tetapi, sepengetahuannya, sosok calon pimpinan yang ada saat ini baik-baik semua. "Tentu kita berharap kepada semua bakal calon pimpinan jangan macam-macam. Kalau ingin serius menjadi pimpinan, baik-baik sajalah sama anggota," timpal Also lagi.
Ia mempersilakan berkompetisi menjadi pimpinan dengan cara-cara yang elegant. "Rebut hati kawan-kawan, jangan mencari cari kesalahan orang lain, bertarunglah secara kesatria, harus siap kalah dan siap menang," lanjut dia.
Menurut pandangan Alirman Sori, dari kandidat pimpinan di antaranya La Nyalla, Sultan Najamuddin, Nono Sampono, Mahyuddin dan GKR Hemas punya peluang yang sama untuk menjadi pimpinan DPD RI ke depan. Tapi, siapa yang berpeluang menjadi ketua, ia menyebut akan berproses secara alami. Menurut keyakinan Also, sosok ketua yang akan terpilih nanti adalah sosok yang baik, cerdas, pintar, berpengalaman dan yang tidak suka marah-marah.
Ia mengajak dan memberikan saran kepada anggota DPD, agar memberikan mandat pimpinan dan ketua kepada orang yang amanah. Kepada calon pimpinan juga jangan memaksa seseorang untuk mendukung dan memilih dirinya. (sp)